Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah bergerak stagnan 0,00 persen atau hanya bergeser 0,50 poin pada pembukaan perdagangan hari ini sehingga parkir di Rp14.219,50 per dolar AS.
Berdasarkan data Blooomberg, Jumat (19/11/2021) pada 09.18 WIB, indeks dolar AS menguat 0,10 persen atau 0,09 poin ke 95,64. Sementara itu, mata uang Asia lain terpantau beragam cenderung melemah.
Yen Jepang melemah 0,06 persen, won Korea Selatan turun 0,30 persen, yuan China menguat 0,04 persen, ringgit Malaysia turun 0,04 persen dan bath Thailand tergelincir 0,08 persen.
Adapun mata uang Garuda di hadapan greenback diprediksi mampu menguat pada hari ini seiring ekspektasi pelaku pasar yang mencermati potensi pelemahan dolar AS.
Sebelum melemah pada penutupan perdagangan Kamis (18/11/2021) waktu setempat, dolar AS juga loyo terhadap mata uang lainnya pada akhir sesi Asia.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menyebut, salah satu sentimen pelemahan dolar AS adalah patokan imbal hasil obligasi AS 10 tahun yang mencatat kenaikan moderat pada hari Kamis. Akan tetapi, patokan imbal hasil ini mundur dari level tertinggi. "Lelang obligasi 20 tahun juga mengecewakan," ujar Ibrahim dalam risetnya, Kamis (18/11/2021).
Baca Juga
Sementara riset Monex Investindo Futures menyebut, pelaku pasar mencermati data-data ekonomi AS seperti Philly Fed Manufacturing Index dan Unemployment Claims, sebagai peluang penggerak harga.
Adapun untuk perdagangan ini, Jumat (19/11/2021) Ibrahim memperkirakan rupiah dibuka berfluktuatif, tetapi, ditutup menguat di rentang Rp14.190-Rp14.240.
Mengutip Antara, dolar mundur sedikit dari level tertinggi 16 bulan pada akhir perdagangan Kamis waktu setempat, saat para pedagang menilai apakah lonjakan mata uang AS baru-baru ini sudah terlalu jauh.
Indeks dolar, yang mengukur mata uang AS terhadap sekeranjang enam mata uang utama saingannya, mencapai tertinggi sejak pertengahan Juli 2020 pada Rabu (17/11/2021) di 96,226, tetapi terakhir turun 0,272 persen pada 95,553.
Data AS baru-baru ini menunjukkan inflasi pada Oktober berjalan pada titik terpanas sejak 1990, sementara angka penjualan ritel melampaui perkiraan, membuat pasar memperkirakan kenaikan suku bunga lebih awal oleh Federal Reserve daripada yang telah diantisipasi, mendorong greenback menguat.