Bisnis.com, JAKARTA – Saham-saham perbankan akan menjadi motor utama pergerakan IHSG hingga ke level 6.600 sampai dengan akhir tahun.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana memfavoritkan saham perbankan untuk menjadi pilihan utama bagi investor. Terutama saham-saham bank yang memiliki kapitalisasi pasar jumbo.
“Saya memilih saham berkapitalisasi besar dari sektor perbankan seperti PT Bank Central Asia Tbk. [BBCA] dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. [BBRI],” katanya kepada Bisnis pada Selasa (5/10/2021).
Untuk kedua emiten itu, Wawan menargetkan harga masing-masing sebesar Rp36.000 per saham dan juga Rp4.500 per saham.
Wawan menambahkan jika dia optimistis IHSG dapat melaju hingga menyentuh antara 6.500 sampai dengan 6.600. Menurutnya pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) akan ikut mendorong pergerakan ekonomi dari sisi domestik.
“Pelonggaran PPKM, kenaikan harga komoditas energi dan juga peningkatan pendapatan emiten [dapat menjadi katalis positif],” katanya.
Baca Juga
Sementara untuk katalis negatif, Wawan melihat yang dapat menghambat pertumbuhan IHSG bila terjadi gelombang covid-19 berikutnya sehingga PPKM kembali diperketat. Adapun dari sisi global, kenaikan suku bunga di Amerika Serikat juga dapat ikut meghambat.
Senada dengan Wawan, Presiden Direktur RHB Sekuritas Indonesia Iwanho mengatakan IHSG berpotensi melaju hingga level 6.500 pada akhir tahun.
"Indeks target berada di 6.500. Sectoral rotation dari investor yang akan memberikan keuntungan lebih terhadap investor," katanya kepada Bisnis baru-baru ini.
Iwanho menjagokan beberapa sektor seperti batu bara dan minyak kelapa sawit. Selain itu, telekomunikasi serta ritel high-end seperti MAPI dan saham-saham sektor properti.
"Telekomunikasi didorong dengan kepastian merger antara ISAT dan Hutchison yang diharapkan menurunkan kompetisi di industri," imbuhnya.
Selain itu, dia mengatakan saat ini aliran modal asing mulai kembali masuk sejak akhir kuartal III/2021. Dia menilai kembalinya modal asing berkat pemulihan ekonomi secara global atau pun nasional.
"Ini dikarenakan investor appetite untuk masuk ke aset investasi yang lebih beresiko sebab pemlihan ekonomi di pasar global dan meningkatnya inflasi dunia. Asset class ini termasuk sektor cylical di Amerika Serikat dan juga foreign inflows ke emerging markets, termasuk indonesia," katanya.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.