Bisnis.com, JAKARTA — PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) menjadi salah satu emiten dengan pergerakan saham moncer pada perdagangan saham, Selasa (28/9/2021). Selain tren kenaikan harga batu bara global, rencana perseroan melakukan buyback turut menjadi katalis positif.
Dana kas yang dianggarkan perseroan untuk membeli kembali saham mereka memang tidaklah kecil. Mengacu keterbukaan informasi, Senin (27/9), perseroan menganggarkan duit maksimal Rp4 triliun.
Pembelian saham akan dilakukan ADRO lewat transaksi pasar reguler, dengan secara bertahap dalam periode 3 bulan sejak tanggal keterbukaan informasi.
1. Adaro (ADRO) di Antara Sentimen Buyback dan Harga Batu Bara
“Perseroan berkeyakinan bahwa pelaksanaan pembelian kembali saham perseroan tidak akan memberikan pengaruh negatif terhadap kinerja dan pendapatan perseroan karena saldo laba dan arus kas perseroan yang tersedia saat ini sangat mencukupi untuk kebutuhan dana pelaksanaan pembelian kembali saham perseroan,” kata Sekretaris Perusahaan ADRO Mahardika Putranto, Senin (27/9).
Dengan buyback saham, untuk periode sampai dengan 30 Juni 2021, total aset ADRO akan berkurang dari US$6,73 miliar menjadi US$6,45 miliar. Kemudian, laba periode berjalan tetap pada US$189,29 juta. Sedangkan, ekuitas berkurang dari US$4,04 miliar menjadi US$3,76 miliar.
Dengan dana pembelian kembali saham tersebut, perseroan akan melakukan pengalihan atas saham hasil pembelian kembali dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya POJK No. 2/2013.
Pembahasan terkait prospek saham ADRO seiring rencana buyback perseroan dapat Anda baca di sini.
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020)./ANTARA FOTO-Syifa Yulinnas
2. Ini Dia! Saham-Saham Batu Bara yang 'Terbang di Zona Hijau'
ADRO bukan satu-satunya emiten yang sahamnya sedang bersinar. Lonjakan harga batu bara di pasar global yang menembus US$200 per ton bahkan hingga kontrak Desember 2021, membawa saham-saham emiten tambang emas hitam itu melejit di zona hijau, Selasa (28/9).
Indeks IDX Sector Energy yang sebagian gambaran kinerja emiten batu bara—karena dicampur dengan emiten minyak dan gas—menguat 6,98 persen pada perdagangan kemarin. Alhasil sepanjang tahun berjalan 2021, indeks tersebut memantul dengan kenaikan 16,67 persen.
Dalam perdagangan harian, kenaikan harga saham batu bara dipimpin oleh PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) yang melambung 21,43 persen ke level Rp68, saham PT Indika Energy Tbk. (INDY) naik 19,34 persen ke level Rp1.820, saham PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) menguat 16,67 persen ke level Rp21.350, dan saham ADRO melejit 15,23 persen ke level Rp1.740.
Mengacu data Bloomberg, harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman Oktober 2021 menyentuh level US$210 per ton pada perdagangan Selasa (28/9). Batu bara lanjut memanas setelah menembus US$204,75 pada perdagangan sehari sebelumnya.
Ulasan mengenai kelanjutan tren saham-saham emiten batu bara dapat Anda baca di sini.
Direktur Keuangan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk Lany Djuwita Wong (dari kiri) berbincang dengan Direktur Investasi Devin Wirawan, Hubungan Investor Albert Saputro, dan Direktur Portofolio Andi Esfandiari di sela-sela paparan publik seusai RUPS, di Jakarta, Rabu (22/5/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
3. Geliat Saratoga (SRTG) saat Primaya Hospital Berpeluang Masuk Bursa
Pergerakan positif saham batu bara berpotensi membawa berkah bagi salah satu pemegang saham ADRO saat ini, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. (SRTG).
Terlebih, selain emiten-emiten yang sudah ada, rapor perusahaan konglomerasi yang terhubung dengan Sandiaga Uno tersebut berpotensi terdorong oleh rencana IPO sederet perusahaan portofolio lain. Salah satunya adalah rumah sakit Primaya Hospotal.
Rencana IPO Primaya memang makin di depan mata. Emiten ini digadang-gadang sejumlah pengamat bakal mengikuti jejak perusahaan rumah sakit lain seperti PT Siloam International Hospitals Tbk. (SILO), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA), PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk. (SAME), dan lainnya.
Pembahasan terkait tren kinerja SRTG dapat Anda baca di sini.
Model memperlihatkan Kartu Perdana BosKu (Bonus Kuota) saat peluncurannya di Jakarta, Selasa (26/3/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
4. Jatuh Bangun Smartfren (FREN) Mengejar Para Kompetitor
Parade merger dan akuisisi yang mewarnai sektor telekomunikasi dalam negeri kembali berlanjut. Pada Senin (27/9), PT Mora Telematika alias Moratelindo mengumumkan rencana untuk mengakuisisi 65 persen saham perusahaan Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan transponder internet PT Indo Pratama Teleglobal (IPT).
Sekretaris Perusahaan Moratelindo Henry Rizard Rumopa menjelaskan penandatanganan jual beli telah dilakukan pada Kamis (23/9).
Moratelindo merupakan salah satu anak usaha PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN). Emiten layanan telekomunikasi milik Grup Sinarmas tersebut mengakuisisi sebagian saham Moratelindo pada medio Mei 2021, dengan tujuan penguatan kualitas jaringan dan persiapan ekspansi 5G.
Tak heran jika akuisisi IPT yang memakan dana Rp18,22 miliar bakal berpotensi membuat FREN kecipratan getah. Pasalnya, kinerja dan layanan solid Moratelindo juga akan memperkuat performa FREN selaku entitas induk.
Sayangnya, sejauh ini, transaksi tersebut belum menimbulkan dampak positif ke pasar modal.
Meski sempat naik hingga 1,93 persen pada awal sesi perdagangan dan disertai net buy asing Rp2,2 miliar pada Selasa (28/9), saham FREN justru lebih banyak diobral. Hingga penutupan perdagangan, saham FREN mengalami penurunan harga 5,17 persen, tepatnya dari posisi Rp116 menjadi Rp110 per saham.
Gambaran lebih lanjut terkait bisnis FREN dan potensi nasib sahamnya dapat Anda baca di sini.