Bisnis.com, JAKARTA - The Fed, bank sentral di Amerika Serikat, memberi sinyal untuk melakukan penarikan stimulus moneter atau tapering lebih cepat tahun ini, sementara kenaikan suku bunga baru dilakukan pada 2022.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan kebijakan the Fed tersebut akan berisiko pada keluarnya aliran modal asing atau capital outflow.
Hal ini menyebabkan harga obligasi pemerintah menjadi turun sehingga imbal hasil obligasi mengalami peningkatan.
Namun demikian, dia mengatakan dampak dari tapering the Fed di masa pandemi ini tidak akan besar karena investor telah melakukan antisipasi.
“Saya kira isu tapering off sudah diantisipasi oleh investor, investor jangka pendek telah melakukan konsolidasi portofolio sementara investor jangka panjang tetap stay-in,” katanya kepada Bisnis, Kamis (23/9/2021).
Di samping itu, Yusuf mengatakan dampak dari tapering pun bisa diantisipasi melalui bantuan burden sharing Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sehingga imbal hasil obligasi pemerintah tetap berada pada level yang kompetitif.
Baca Juga
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan dampak dari tapering the Fed akan terbatas karena ketahanan sektor eksternal Indonesia saat ini sudah sangat baik.
“Cadangan devisa sudah mencapai posisi tertinggi dalam sejarah, defisit transaksi berjalan masih sangat rendah ditopang oleh ekspor yang solid akibat tingginya harga komoditas dan pemulihan ekonomi global,” katanya.
Selain itu, tingkat inflasi juga berada pada tingkat yang rendah hingga Agustus 2021. BI memperkirakan tingkat inflasi tahun ini akan mencapai kisaran 2 hingga 4 persen.
Faisal mengatakan,kepemilikan asing pada instrumen keuangan Indonesia juga tercatat cukup rendah saat ini jika dibandingkan dengan periode taper tantrum pada 2013.
“Semua hal tersebut berbeda dengan kondisi di 2013 ketika terjadi tapering tantrum,” jelasnya.