Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah bergerak fluktuatif selama sepekan terakhir. Hal itu seiring dengan yield surat utang AS tenor 10 tahun atau US Treasury yang menanjak lagi.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup stagnan pada hari terakhir perdagangan pekan ini sebesar Rp14.525 per dolar AS.
Dalam sepekan terakhir rupiah mengalami depresiasi 0,74 persen sedangkan sejak awal tahun turun 3,38 persen.
Sebelumnya, Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan faktor pelemahan rupiah masih disebabkan oleh arus modal asing yang cenderung keluar dari pasar obligasi Tanah Air.
Adapun, outflow yang terjadi di pasar obligasi menyusul kenaikan yield obligasi AS bertenor 10 tahun atau US Treasury belakangan ini walaupun sempat turun setelah data inflasi di Negeri Paman Sam tak setinggi perkiraan.
“Tapi, kami melihat lelang Treasury Notes di AS masih akan tinggi untuk kebutuhan stimulus US$1,9 triliun. Jadi, tekanan [ke rupiah] masih akan ada,” kata Faiz kepada Bisnis, baru-baru ini.
Apalagi, lanjut Faiz, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen di kongres mengatakan kenaikan yield Treasury AS ini tidak menjadi kekhawatiran (concern) keduanya.
Artinya, para pembuat kebijakan di Negeri Paman Sam memandang fenomena yield ini suatu hal yang wajar dan belum akan dilakukan intervensi.
Kendati demikian, Faiz mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang memadai serta neraca perdagangan yang surplus. Keduanya dinilai bakal dapat menahan laju pelemahan rupiah.
Faiz memperkirakan rupiah bakal bisa bergerak stabil pada kisaran Rp14.350 - Rp14.450 per dolar AS.