Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pergerakan LQ45 Kurang Semangat, Ini Penjelasan Analis

Berdasarkan data BEI, sepanjang tahun berjalan hingga 26 Maret 2021 indeks LQ45 hanya mampu tumbuh 0,42 persen. Masih underperformed dibandingkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat 3,62 persen dalam periode yang sama.
Pengunjung melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (22/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengunjung melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (22/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Bisnis.com, JAKARTA — Pergerakan indeks LQ45 di tiga bulan pertama tahun ini masih tak terlalu bertenaga. Analis menilai minat investor yang rendah terhadap saham-saham besar jadi penyebabnya.
 
Berdasarkan data BEI, sepanjang tahun berjalan hingga 26 Maret 2021 indeks LQ45 hanya mampu tumbuh 0,42 persen. Masih underperform dibandingkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat 3,62 persen dalam periode yang sama.
 
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan secara umum pasar saham Indonesia bergerak mixed sepanjang tiga bulan pertama tahun ini. Begitu pula dengan pergerakan indeks LQ45 yang cenderung sejalan dengan pasar.
 
“Tahun ini January Effect tidak signifikan, malah koreksi di akhir bulan. Tapi berhasil rebound di Februari, dan Maret ini market juga tidak terlalu kuat. Indeks LQ45 itu mirip tapi memang masih lebih di bawah,” katanya kepada Bisnis, Minggu (28/3/2021)
 
Nafan menuturkan, pergerakan indeks LQ45 yang kurang agresif salah satunya disebabkan oleh kinerja emiten penghuni indeks berisi 45 konstituen tersebut yang cenderung kontraksi untuk tahun buku 2020.
 
Selain itu, tambahnya, kinerja yang tak terlalu mentereng di tahun lalu membuat porsi imbal hasil investor dari dividen juga tak terlalu besar. Alhasil minat investor terhadap emiten-emiten big caps pun tak terlalu tinggi.
 
“Sebagian yang sudah rilis [laporan keuangan] masih terkontraksi, ada juga yang belum rilis. Dividen tidak terlalu tinggi dari beberapa tahun sebelumnya sehingga memengaruhi daripada perilaku investor untuk tidak terlalu akumulasi beli besar-besaran,” ujar dia.
 
Di lain pihak, Nafan menyebut investor lebih menyukai akumulasi beli jangka pendek untuk trading saham-saham small-medium caps (SMC) seiring maraknya sentimen di awal tahun ini karena saham-saham kecil cenderung memiliki pergerakan yang lebih signifikan.
 
“Terdapat banyak pemberitaan positif, misalnya DOID kena sentimen batubara, terus kabar akuisisi bank digital seperti ARTO, itu jadi euforia. Small caps ini diuntungkan dengan berita positif dia bisa terbang, kalau big caps kan tidak terlalu tinggi,” tuturnya lagi.
 
Menurutnya, saat ini para pelaku pasar tengah menanti sentimen positif yang dapat memberikan daya tarik terhadap saham-saham big caps, misalnya rilis laporan keuangan Q1/2021 untuk menilai pertumbuhan kinerja emiten-emiten tersebut.
 
“Investor mau lihat apakah bisa lebih baik dari Q1 tahun lalu atau tidak? Lalu saya pikir investor mencari harga saham LQ45 pada level support atau ketika harganya dianggap menarik, atau ketika ada value begitu,” pungkasnya.
Adapun, Nafan menyebut sejumlah saham penghuni LQ45 masih menarik untuk dicermati pelaku pasar antara lain BBCA, BBNI, BBRI, BMRI, INDF, ICBP, GGRM, HMSP, PGAS, TLKM, dan JSMR.
 
Terpisah, Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada juga mengatakan saat ini saham emiten-emiten lapis kedua lebih diminati pelaku pasar karena kinerjanya lebih moncer di tengah lesunya saham-saham lapis pertama.
 
Tak hanya itu, sebagian saham LQ45 juga dinilai sudah terlalu mahal sehingga investor memilih untuk masuk ke saham-saham alternatif.
 
“Di saat saham-saham big caps ini outperform, saham-saham small caps malah jauh lebih perform jadi lebih menarik bagi pelaku pasar,” katanya.
 
Kendati demikian, Reza tetap merekomendasikan sejumlah saham LQ45 untuk dikoleksi para investor antara lain saham-saham dari sektor perbankan seperti BBCA dan BBRI, saham konsumer ICBP, dan saham sektor energi yakni BRPT dan TPIA.
 
“Bank-bank masih bisa jadi pilihan pelaku pasar, kemudian ICBP juga masih bisa bertahan, lalu BRPT dan TPIA itu mulai masuk ke energy terbarukan jadi menurut saya akan prospektif sekali terutama jangka panjang,” tutur Reza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper