Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Permintaan China Menurun, Harga CPO Kian Terpuruk

Kenaikan pasokan biji kedelai kini mengancam angka impor CPO China yang sempat mencatatkan rekor tertinggi dua tahun lalu.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) terus melanjutkan koreksi harga hingga ke level 3.200 seiring dengan prospek penurunan permintaan komoditas ini dari China.

Berdasarkan data dari laman Bursa Malaysia pada Senin (25/1/2021), harga CPO untuk pengiriman April 2021 terpantau turun 49 poin di harga setelmen 3.282 ringgit per ton. Sebelumnya, harga CPO sempat mencapai titik tertingginya di posisi 3.248 ringgit per ton.

Sementara itu, harga CPO kontrak Mei 2021 terpantau turun 58 poin ke setelmen 3.198 ringgit per ton. Padahal, pada pekan-pekan awal tahun ini, harga CPO sempat menyentuh level tertingginya sejak 2008 dan masuk kisaran 4.000 ringgit per ton.

Salah satu faktor penekan pergerakan harga minyak kelapa sawit adalah prospek penurunan permintaan global, utamanya dari China.

Dilansir dari Bloomberg pada Senin (25/1/2021), China diperkirakan akan lebih banyak mengimpor biji kedelai guna memacu pemulihan industri peternakan babi. Negeri Panda tersebut juga merupakan salah satu importir CPO terbesar di dunia.

China menggunakan biji kedelai dan jagung sebagai bahan pakan ternak. Impor besar-besaran kedua komoditas tersebut dilakukan guna memulihkan industri peternakan babi yang sebelumnya dihantam flu babi afrika.

Sebagai informasi, biji kedelai merupakan bahan utama pembuatan minyak kedelai yang merupakan substitusi minyak kelapa sawit.

Kenaikan pasokan biji kedelai kini mengancam angka impor CPO China yang sempat mencatatkan rekor tertinggi dua tahun lalu. Lonjakan tersebut terjadi ditengah memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Analis China Futures Co., Shi Lihong mengatakan, pasokan biji kedelai berlebih akan menggantikan impor minyak kelapa sawit yang biasanya dilakukan China. Selain itu, pemulihan pada jumlah ternak babi di China akan mendorong kenaikan permintaan biji kedelai sekitar 8 persen hingga 10 persen.

"Pembelian minyak kelapa sawit dari China kemungkinan akan mencatatkan rekor terendah dalam tiga tahun pada musim 2020/2021," katanya dikutip dari Bloomberg.

Ia menambahkan, harga minyak kelapa sawit saat ini juga dinilai terlalu mahal dibandingkan minyak biji kedelai. Hal ini membuat pelaku pasar enggan membeli CPO.

Data dari China National Grain and Oils Information Center menyebutkan, angka impor CPO pada kuartal I/2021 diperkirakan sebanyak 400.000 hingga 500.000 ton per bulan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan rata-rata impor CPO pada periode Oktober - Desember 2020 di kisaran 650.000 ton hingga 750.000 ton per bulan.

"Total pembelian CPO dari China untuk musim 2020/2021 diperkirakan terkoreksi 8,8 persen di level 6,2 juta ton," demikian kutipan laporan tersebut.

Sementara itu, Head of Research CGS-CIMB di Kuala Lumpur, Malaysia, Ivy Ng, menambahkan, prospek penurunan permintaan CPO dari China juga ditambah dengan persediaan yang masih mencukupi.

Ng menjelaskan, China telah melakukan pembelian CPO dalam jumlah besar pada beberapa bulan sebelumnya guna memenuhi kebutuhan konsumsi domestik.

“Melihat dari volume pembelian akhir tahun lalu, persediaan minyak kelapa sawit China diprediksi masih cukup untuk memenuhi permintaan pada puncaknya di masa perayaan tahun baru imlek,” jelasnya.

Ia melanjutkan, kemungkinan bahwa China akan kembali mengisi persediaan CPO pada periode Maret hingga April mendatang masih cukup terbuka. Meski demikian, hal ini amat bergantung pada tingkat permintaan pada musim perayaan imlek dan sisa cadangan yang dimiliki.

Lebih lanjut, Ng menuturkan kekhawatiran pasar terhadap level harga CPO yang terlalu tinggi turut berimbas pada penurunan permintaan. Hal tersebut menurutnya tercermin dari rilis data ekspor yang mengalami penurunan.

Data dari Amspec Agri Malaysia menunjukkan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia pada periode 1-20 Januari terkoreksi 41 persen dibandingkan periode yang sama bulan lalu menjadi 632 ribu ton. Sementara itu, pada periode 1 – 20 Desember 2020, ekspor Malaysia tercatat sebesar 1.07 juta ton.

Sementara itu, salah satu wilayah penghasil minyak kelapa sawit di Malaysia, Sabah akan melakukan lockdown selama 30 hari mulai hari ini.

Chief Executive Malaysian Palm Oil Association (MPOA) Mohd Nageeb Abdul Wahab mengatakan, kebijakan tersebut dilakukan menyusul lonjakan kasus infeksi virus corona di Sabah, termasuk pada sejumlah ladang di wilayah itu.

Ia mengatakan, pihaknya telah meminta pemerintah daerah setempat untuk tetap memperbolehkan pergerakan logistik esensial selama lockdown. Kegiatan operasional di ladang sawit pun masih diperbolehkan meskipun terbatas.

Adapun Sabah merupakan wilayah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di Malaysia, dengan kontribusi output 24 persen dari total produksi.

Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono menuturkan, penurunan harga CPO yang terjadi saat ini merupakan hal wajar. Apalagi, harga minyak kelapa sawit juga sempat mendekati level 4.000 ringgit per ton beberapa pekan lalu.

“Level harga itu sudah mendekati kisaran tertinggi dalam 6 tahun. Reli harga biasanya berdampak pada kenaikan pasokan untuk menurunkan harga,” jelasnya saat dihubungi pada Senin (25/1/2021).

Wahyu mengatakan, salah satu faktor koreksi harga CPO saat ini adalah gelontoran paket stimulus dari Presiden AS, Joe Biden. Ia menjelaskan prospek tambahan stimulus menimbulkan kekhawatiran dari pelaku pasar. Pasalnya, banyaknya stimulus dinilai akan menaikkan inflasi dan memicu koreksi harga komoditas, termasuk CPO.

Ia melanjutkan, penurunan harga CPO cukup tertahan berkat prospek berkurangnya pasokan dari Malaysia. Menurut Wahyu, kebijakan lockdown telah menjadi penghambat produksi CPO Malaysia sejak 2020 lalu.

Wahyu menambahkan, produksi CPO Malaysia memang sangat bergantung pada tenaga kerja asing. Sehingga, pemberlakuan lockdown akan membatasi tenaga kerja yang ada dan juga ouput CPO.

“Berbagai sentimen negatif yang ada saat ini diimbangi dengan penurunan pasokan sehingga menahan penurunan CPO secara signifikan,” ujarnya.

Meski demikian, Wahyu menilai prospek penguatan harga minyak kelapa sawit masih terbuka dalam beberapa waktu ke depan. Faktor penopang peluang kenaikan harga CPO salah satunya adalah ancaman penurunan panen akibat fenomena perubahan iklim La Nina yang melanda kawasan tropis pasifik.

Wahyu menjelaskan, La Nina memicu curah hujan tinggi hingga 40 persen di atas curah hujan normal. Berkaca pada kejadian sebelumnya, La Nina selalu diiringi dengan bencana hidrometeorologis seperti banjir dan tanah longsor.

Ia mengatakan, hambatan tersebut akan membuat aktivitas panen menjadi terganggu dan merusak stok sawit yang ada. Selain itu, frekuensi hujan yang akan lebih tinggi berpotensi menghambat pengiriman minyak kelapa sawit dan menyebabkan kenaikan harga CPO.

Wahyu memperkirakan, pelemahan CPO masih dapat berlanjut meskipun terbatas. Selanjutnya, rebound harga CPO masih cukup terbuka dalam waktu dekat. Penguatan ini akan terjadi lebih cepat apabila sentimen dari pasar global membaik dan memicu pelemahan dolar AS yang menjadi lawan komoditas.

"Dalam jangka pendek kemungkinan pergerakan harga CPO di level 3.000 hingga 3.600 ringgit per ton," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper