Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Joe Biden Bakal Pangkas Emisi Karbon, Bagaimana Nasib Harga Minyak?

Pemerintahan AS di bawah Biden diperkirakan akan mempercepat proses transisi AS dari penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan.
Tempat penyimpanan minyak di Pelabuhan Richmond in Richmond, California/ Bloomberg - David Paul Morris
Tempat penyimpanan minyak di Pelabuhan Richmond in Richmond, California/ Bloomberg - David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA – Ditengah agenda prioritasnya untuk mengintegrasikan penggunaan energi terbarukan, sejumlah kebijakan Presiden baru Amerika Serikat, Joe Biden dinilai masih berpotensi menjadi katalis positif untuk harga minyak.

Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (21/1/2021), pada hari pertamanya sebagai Presiden AS, Biden menandatangani sejumlah perintah eksekutif, salah satunya adalah kembalinya AS bergabung dalam Perjanjian Paris yang mengatur pengurangan emisi karbon dioksida.

Selain itu, Ia juga memberlakukan moratorium pada perjanjian penyewaan ladang minyak dan gas pada Arctic National Wildlife Refuge.

Biden telah memberitahu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait kembalinya AS dalam Perjanjian Paris. Kembalinya AS ke dalam kesepakatan ini akan resmi berlaku dalam 30 hari ke depan.

Selanjutnya, Biden juga membatalkan izin jalur pipa (pipeline) minyak Keystone XL yang akan mengalirkan minyak dari Alberta, Kanada ke beberapa negara bagian AS yakni Montana, South Dakota, dan Nebraska.

Jalur pipa yang mulai dibangun pada tahun lalu tersebut telah menelan dana US$1,1 triliun dan rencananya akan mengalirkan 830 ribu barel minyak per harinya.

Kebijakan Biden tersebut membalikkan langkah yang dilakukan oleh Presiden AS Sebelumnya, Donald Trump. Pada 2017 lalu, Trump mengesahkan izin jalur pipa Keystone XL setelah sebelumnya dilarang melintasi Amerika Serikat oleh pendahulunya, Barack Obama.

Menyusul pembatalan tersebut, perusahaan pemilik Keystone XL, TC Energy mengungkapkan kekecewaannya. Menurut manajemen TC Energy, kebijakan Biden menganulir seluruh proses komprehensif yang dilakukan dalam proses pembangunan jalur pipa.

Manajemen TC Energy juga mengatakan pembangunan proyek Keystone XL akan dihentikan. Hal ini juga berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan yang terlibat dalam pembangunan jalur pipa.

Pemerintahan AS di bawah Biden diperkirakan akan mempercepat proses transisi AS dari penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Hal tersebut diprediksi akan menimbulkan guncangan besar pada pasar komoditas dalam jangka panjang.

Terkait hal tersebut, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, pergantian kepemimpinan AS dibawah Joe Biden tidak serta merta akan berimbas negatif terhadap harga minyak dunia. Salah satu kebijakan Biden yang dinilai akan berdampak positif terhadap minyak adalah kenaikan pajak korporasi.

Dalam beberapa kesempatan, Biden mengungkapkan rencananya untuk menaikkan pajak korporasi yang sebelumnya dipangkas oleh Donald Trump. Ia akan menaikkan tarif pajak perusahaan menjadi 28 persen dari sebelumnya 21 persen.

“Wacana kenaikan pajak dan perubahan regulasi dalam industri perminyakan AS akan mendukung harga minyak seiring dengan berkurangnya pasokan di pasar,” jelasnya pada Kamis (21/1/2021).

Sentimen lain yang akan mendorong penguatan harga minyak dibawah Biden adalah membaiknya hubungan China dan AS. Potensi berakhirnya perang dagang antara kedua negara semakin terbuka setelah Biden menggantikan Trump sebagai Presiden AS.

Ia menjelaskan, pasar mengharapkan kebijakan luar negeri Biden yang lebih diplomatis dibandingkan Trump akan mengembalikan stabilitas hubungan dengan sejumlah negara seperti China, iran, dan Venezuela.

“Dengan tensi China–AS yang mendingin, maka permintaan dan harga minyak juga akan ikut terdorong naik,” jelasnya.

Terkait Iran, Wahyu mengatakan Biden akan membawa AS kembali dalam perjanjian nuklir Iran dan melonggarkan sanksi-sanksi yang berlaku pada masa pemerintahan Trump. Meski begitu, ia juga memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mengakibatkan melimpahnya pasokan minyak dunia.

“Mengingat kondisi pasar saat ini, oversupply minyak menjadi hal yang perlu dihindari. Selain itu, kebijakan ini kemungkinan belum masuk agenda prioritas Biden karena ia masih harus mengatasi pandemi virus corona dan beberapa tantangan lainnya,” paparnya.

Wahyu memperkirakan, harga minyak WTI masih akan bergerak bullish pada tahun ini. Ia mengatakan, setelah menembus level US$50 per barel harga minyak akan berada di kisaran US$40 hingga US$60 per barel pada kuartal I/2021.

Ia melanjutkan, level harga US$40 menjadi tingkat gravitasional jika harga minyak menguat ke depannya. Level harga tersebut juga menjadi dasar jangka panjang untuk pergerakan harga minyak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper