Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia berbalik terkoreksi menyusul indikasi kenaikan jumlah cadangan minyak di Amerika Serikat. Hal tersebut menandakan kekhawatiran pasar terhadap minimnya konsumsi minyak.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (21/1/2021) siang, Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat turun hingga 0,5 persen ke level US$53,07 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan harga minyak Brent juga sempat melemah hingga 0,4 persen ke posisi US$55,84 di ICE Futures Europe.
Harga minyak berjangka di New York berpeluang mencatatkan penurunan harga pertama pada pekan ini seiring dengan kenaikan jumlah cadangan minyak di AS.
Data dari The American Petroleum Institute (API) melaporkan jumlah cadangan bahan bakar minyak AS naik sebanyak 1,13 juta barel. Jumlah cadangan distilat juga terpantau naik sebesar 816 ribu barel.
Gambaran dari API terjadi ditengah kemunculan tanda-tanda konsumsi minyak akan kembali berkurang seiring dengan penyebaran virus corona yang semakin memburuk. Penyebaran tersebut membuat sejumlah negara kembali memberlakukan pembatasan perjalanan dan aturan bekerja dari rumah.
Sebelumnya, JPMorgan Chase & Co telah memangkas perkiraan permintaan minyak dari China seiring dengan penyebaran virus corona jelang perayaan tahun baru imlek.
Global Head for Industrials, Materials and Energy di Third Bridge, Peter McNally mengatakan kenaikan cadangan minyak di AS menandakan belum pulihnya permintaan terhadap minyak di Negeri Paman Sam tersebut. Padahal, AS masih menjadi pasar minyak terbesar di dunia.
Selain itu, penyebaran virus corona yang kembali terjadi di China juga dinilai semakin menekan harga minyak dunia.
“Selama ini, permintaan dari China masih menjadi motor utama dalam perbaikan fundamental komoditas minyak,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Meski dibayangi prospek konsumsi yang buruk dalam jangka pendek, harga minyak masih diperdagangkan mendekati level tertingginya dalam setahun terakhir. Salah satu faktor penopang tren positif tersebut adalah pemangkasan output yang dilakukan oleh Arab Saudi dan nilai dolar AS yang melemah.
Selain itu, investor juga optimistis bahwa Presiden AS, Joe Biden, akan kembali menggelontorkan stimulus untuk memacu pertumbuhan ekonomi AS. Pasar juga memantau langkah-langkah yang akan diambil Biden untuk mengerem kenaikan infeksi virus corona di AS.
Sementara itu, Founder Vanda insights Vandana Hari mengatakan sentimen penyebaran virus corona, distribusi vaksin, dan pergantian kepemimpinan di AS telah diperhitungkan oleh pelaku pasar. Ia menambahkan, pasar juga telah memperhitungkan kehadiran stimulus lanjutan di masa kepemimpinan Biden.
“Kemungkinan tidak ada sentimen dari pemerintahan baru di AS yang akan berdampak signifikan terhadap pergerakan harga minyak dunia dalam beberapa hari ke depan,” ujarnya.
Sementara itu, pada hari pertamanya sebagai Presiden AS, Joe Biden menandatangani sejumlah perintah eksekutif, salah satunya adalah kembalinya AS bergabung dalam Perjanjian Paris yang mengatur pengurangan emisi karbon dioksida.
Selain itu, Ia juga memberlakukan moratorium pada perjanjian penyewaan ladang minyak dan gas pada Arctic National Wildlife Refuge.
Biden telah memberitahu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait kembalinya AS dalam Perjanjian Paris. Re-integrasi AS ke dalam kesepakatan ini akan resmi berlaku dalam 30 hari ke depan.
Pemerintahan AS dibawah Biden diperkirakan akan mempercepat proses transisi AS dari penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Hal tersebut diprediksi akan menimbulkan guncangan besar pada pasar komoditas dalam jangka panjang.