Bisnis.com, JAKARTA – Angka produksi minyak mentah dari Libya telah menembus 1 juta barel per hari setelah tersendat pada awal tahun akibat perang sipil.
Dilansir dari Bloomberg pada Minggu (8/11/2020), laporan dari perusahaan minyak milik pemerintah Libya, National Oil Corp atau NOC menyatakan, pihaknya telah berupaya meningkatkan produksi minyak harian sejak terjadinya gencatan senjata pada bulan lalu. Pada pekan lalu, Libya mencatatkan produksi 800 ribu barel minyak mentah per hari.
Chairman NOC Mustafa Sanalla mengatakan Libya mengincar angka output sebesar 1,3 juta barel per hari pada 2021 mendatang. Dia menambahkan, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC meskipun Libya dikecualikan dari daftar negara yang sepakat memangkas produksi minyak harian.
Meski demikan, National Oil Corp menyatakan pihaknya kemungkinan tidak dapat mempertahankan rerata produksi harian tersebut. NOC dapat mengurangi atau menghentikan kegiatan operasional karena keterbatasan dana untuk memperbaiki fasilitas produksi.
Pada awal September lalu, Libya memproduksi kurang dari 100 ribu barel minyak mentah per harinya. Lonjakan produksi ini mengejutkan para pelaku pasar dan memberikan tekanan terhadap harga minyak seiring dengan gelombang kedua penyebaran virus corona di Eropa yang akan menyebabkan berkurangnya penggunaan minyak mentah.
Hal ini juga menghambat rencana OPEC untuk menambah output harian minyak global. Sebelumnya, OPEC berencana untuk mengurangi pembatasan produksi dan meningkatkan angka output sebesar 2 juta barel per hari pada Januari 2021 mendatang.
Dengan bertambahnya jumlah produksi minyak dari Libya, OPEC kemungkinan akan menunda rencana tersebut. Hal ini juga ditambah dengan sentimen pandemi dan pemulihan permintaan minyak yang tidak sesuai harapan.
Industri minyak di Libya sempat tersendat pada pertengahan Januari 2020 saat Khalifa Haftar, seorang Jenderal di Libya, memblokade kilang dan pelabuhan bongkar muat minyak. Aksi tersebut dilakukan untuk menentang PBB yang mengakui pemerintahan Libya dibawah Perdana Menteri Fayez al-Sarraj.
Enam pekan lalu, Haftar membuka blokadenya setelah menandatangai perjanjian gencatan senjata pada Oktober lalu.