Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Nasib Batu Bara di Tengah Tren Energi Ramah Lingkungan

Prospek harga batu bara diprekirakan masih akan membara dalam beberapa tahun ke depan. Sejumlah kalangan menilai, agenda pengalihan sumber energi tidak akan berdampak dalam jangka pendek.
Proses pengapalan batu bara dari conveyor belt ke kapan tongkang./abm-investama.com
Proses pengapalan batu bara dari conveyor belt ke kapan tongkang./abm-investama.com

Bisnis.com, JAKARTA – Setelah sempat terkontraksi di awal tahun, harga batu bara mulai bergerak stabil di akhir 2020. Namun, ke depan harga batu bara muai dibayangi agenda sejumlah negara untuk beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.

Laporan Commodity Markets Outlook Oktober 2020 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menyatakan, harga batu bara mulai bergerak stabil setelah terkoreksi lebih dari 20 persen pada kuartal II/2020. Hal tersebut berbanding terbalik dengan tren positif yang dialami oleh minyak mentah dan gas alam.

Bank Dunia menyatakan, pandemi virus corona menjadi salah satu faktor penyebab tren bearish harga komoditas emas hitam ini. Hal ini memacu sejumlah negara untuk menggunakan sumber energi dengan emisi rendah seperti gas alam atau mempercepat penggunaan energi terbarukan.

“Perpindahan sumber tenaga tersebut membuat angka konsumsi batu bara dunia mengalami penurunan,” demikian kutipan laporan tersebut pada Selasa (27/10/2020).

Pandemi virus corona juga berdampak pada pemangkasan produksi harian batu bara yang dilakukan oleh negara-negara eksportir. 

Negara-negara seperti Indonesia dan Amerika Serikat mengerem produksi batu bara, sementara produksi di Kolombia terhambat menyusul aksi unjuk rasa dari para pekerja tambang.

Selain itu, sentimen dari China juga turut berperan dalam tren negatif harga batu bara. Sebagai importir terbesar batu bara di dunia, China mulai memberlakukan pembatasan impor komoditas ini sejak Mei lalu di tengah tingkat permintaan yang meningkat dan output yang datar.

“Tingkat permintaan batu bara pada 2020 kemungkinan akan turun hingga 7 persen,” demikian kutipan laporan tersebut.

Kedepannya, Bank Dunia memperkirakan pergerakan harga batu bara akan terus terdampak oleh pergeseran sumber tenaga ke energi terbarukan atau gas alam. Meski demikian, harga gas alam yang tinggi dinilai akan berimbas positif terhadap daya saing batu bara.

Dalam jangka pendek hingga menengah, rencana negara-negara untuk berpindah menggunakan energi terbarukan di tengah terjadinya pandemi virus corona akan membuat harga batu bara lesu.

“Penurunan biaya yang tajam dari penggunaan energi terbarukan, terutama tenaga surya, telah meningkatkan daya tarik bagi negara-negara untuk berinvestasi di bidang ini,” tulis World Bank.

Adapun sejumlah negara telah mengumumkan rencana untuk mencapai emisi karbon 0 persen. Uni Eropa telah mencanangkan rencana pengurangan emisi karbon hingga 0 pada 2050. Rencana serupa telah diumumkan oleh China yang menargetkan emisi karbon 0 pada 2060 mendatang.

Meski demikian, prospek harga batu bara di sisa tahun ini dinilai masih cukup atraktif. Bank Dunia menyatakan, saat ini negara-negara lebih berfokus untuk memulihkan perekonomian masing-masing secepat mungkin.

“Hal tersebut terlihat dari stimulus-stimulus yang telah digelontorkan. Paket-paket tersebut lebih ditujukan pada penggunaan bahan bakar fosil dibandingkan mendukung pemulihan ekonomi yang hijau,” demikian kutipan laporan tersebut.

Dilansir dari Bloomberg, pada penutupan perdagangan Senin (26/10/2020), harga batu bara Newcastle berjangka untuk kontrak Januari 2021 terpantau turun 0,16 persen ke level US$60,90 per ton. Pada penutupan perdagangan sebelumnya, harga batu bara menguat hingga 0,66 persen.

Harga batu bara telah masih mengalami koreksi sebesar 16,97 persen secara year-to-date (ytd). Sementara itu, selama enam bulan terakhir, harga komoditas ini mencatatkan penguatan 7,5 persen.

Secara terpisah, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan isu pergeseran penggunaan sumber energi alternatif belum akan terlalu mempengaruhi prospek harga batu bara dalam beberapa waktu ke depan. Pasalnya, perubahan sumber energi tidak dapat langsung dilakukan dalam jangka waktu pendek.

Wahyu menjelaskan, secara ekonomis, batu bara merupakan komoditas yang masih sangat penting bagi mayoritas negara berkembang. Bahkan, kebutuhan kelompok negara tersebut akan batu bara jauh lebih besar dibandingkan dengan negara maju yang kegiatan industrinya sudah efisien.

“China sebagai importir batu bara terbesar juga masih akan bertahan dengan batu bara, terutama dengan batu bara berkualitas tinggi,” katanya saat dihubungi pada Selasa (27/10/2020).

Wahyu memproyeksikan, prospek harga batu bara masih cukup baik di sisa tahun 2020 dan awal 2021. Hal ini ditopang oleh kenaikan permintaan komoditas tersebut seiring dengan sejumlah negara memasuki musim dingin.

Wahyu menjelaskan, memasuki musim dingin, permintaan terhadap batu bara thermal akan mencapai titik tertingginya. Hal tersebut akan memunculkan tekanan terhadap harga batu bara.

Selain itu, prospek harga batu bara juga akan dipengaruhi oleh langkah-langkah yang dilakukan China sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Menurutnya, kebijakan China memang telah dirancang sedemikian rupa guna mendorong kenaikan harga komoditas ini.

“Beberapa strategi China seperti memanfaatkan harga yang turun untuk menimbun batu bara sehingga nantinya akan memicu rebound harga,” jelasnya.

Wahyu memprediksi, harga batu bara di sisa tahun 2020 akan terkonsolidasi di kisaran US$50 hingga US$60 per ton.

Senada, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, peralihan penggunaan sumber tenaga alternatif  belum akan terlalu berpengaruh terhadap harga batu bara. Pasalnya, pengalihan sumber energi membutuhkan infrastruktur pendukung dan hal itu membutuhkan biaya besar.

Di sisi lain, perekonomian yang melambat membuat kas negara cekak. Pemberian stimulus untuk pemulihan ekonomi menjadi lebih penting ketimbang pengalihan sumber energi.

“Isu ini kemungkinan sifatnya masih sementara saja,” katanya.

Pergerakan harga batu bara kemungkinan akan mengalami penurunan terlebih dahulu. Selain ketidakpastian stimulus fiskal AS, permintaan batu bara dunia pada saat ini juga tengah menurun karena pandemi virus corona.

Selanjutnya, harga komoditas ini kemungkinan akan kembali naik seiring dengan prospek pemulihan ekonomi di China sebagai salah satu importir batu bara terbesar di dunia.

“Walaupun impor batu bara China dihentikan, tetapi sentimen ini masih cukup untuk menggerakkan harga batu bara di kisaran US$60 setelah turun terlebih dahulu mendekati US$40 per ton,” tukas Ibrahim..

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper