Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Emiten Rokok Big Caps Mengelus Dada

Total volume penjualan rokok secara keseluruhan di Indonesia turun 9,4 persen menjadi 201,7 miliar batang rokok pada periode Januari hingga September 2020.
Rokok dijual di sebuah gerai waralaba, di Jakarta, Minggu (21/8)./JIBI-Dwi Prasetya
Rokok dijual di sebuah gerai waralaba, di Jakarta, Minggu (21/8)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA – Daya beli masyarakat yang belum pulih kerap kali menjadi sentimen negatif utama yang membayangi kinerja emiten rokok berkapitalisasi besar. Hal ini membuat antusiasme pasar perlahan surut untuk laju kinerja sahamnya pada tahun ini.

Philip Morris International (PMI), pemegang saham pengendali PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) setidaknya sudah mengonfirmasi penurunan volume penjualan perseroan berdasarkan dari laporan keuangan per September 2020 yang dirilis pekan ini.

Berdasarkan data yang dirilis, total volume penjualan rokok secara keseluruhan di Indonesia turun 9,4 persen menjadi 201,7 miliar batang rokok pada periode Januari hingga September 2020.

Tak jauh berbeda dari kinerja industri, volume penjualan HMSP juga menurun signifikan 19,1 persen menjadi hanya 58,3 miliar batang rokok pada periode per September tahun 2020, dari 72,1 miliar batang rokok pada periode yang sama tahun 2019.

Kabar baiknya, volume penjualan HMSP di dalam negeri membaik 9,8 persen secara kuartalan menjadi 19,8 miliar batang rokok dengan market share yang stabil pada posisi 28,2 persen, dibandingkan dengan kuartal kedua tahun ini.

Sementara itu, emiten rokok berkapitalisasi besar lain yakni PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) belum merilis data laporan keuangan per September 2020. Namun, berkaca dari kinerja paruh pertama tahun ini, kinerja keuangan perseroan sebenarnya tak jauh lebih baik. 

GGRM tercatat membukukan pendapatan Rp53,65 triliun, naik tipis 1,72 persen secara tahunan dari posisi periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp52,74 triliun.

Adapun, laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk tergerus 10,75 persen secara tahunan menjadi Rp3,82 triliun pada paruh pertama tahun 2020 ini.

Ketidakjelasan Kenaikan Tarif Cukai

Analis Ciptadana Sekuritas Muhammad Fariz mengatakan pihaknya masih merekomendasikan wait and see sektor tembakau mengingat belum adanya kejelasan mengenai kenaikan tarif cukai rokok pada 2021.

“Soalnya kalau naik terlalu tinggi dan tidak ada reform dari segi cukai cukup berat untuk produsen tier 1 karena tidak ada price discipline,” tuturnya kepada Bisnis, Kamis (22/10/2020).

Seperti diketahui, pemerintah seharusnya mengumumkan tarif cukai rokok pada akhir September atau awal Oktober 2020. Namun karena berlangsungnya demonstrasi masyarakat akibat Omnibus Law dan pandemi Covid-19 hingga saat ini, membuat rencana kenaikan tarif cukai tak kunjung diumumkan.

Sejauh ini, rencana pemerintah yang akan menyesuaikan kembali tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2021, digadang-gadang justru lebih berorientasi pada pencapaian target penerimaan perpajakan daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok.

Di tengah ketidakpastian yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, pemerintah dikabarkan akan menaikkan tarif CHT pada 2021 di kisaran 13 persen - 20 persen.

Informasi terkait angka tersebut beredar seiring dengan rapat yang digelar Presiden Joko Widodo, baru-baru ini. Disebutkan dalam informasi tersebut Presiden membuat arahan kenaikan cukai rokok pada 2021 sebesar 13 persen - 20 persen, sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengajukan angka 17 persen.

Dalam catatan Bisnis, kenaikan tarif cukai sebesar 13 persen - 20 persen, sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2020 yang rata-rata kenaikannya sebesar 23 persen. Namun, angka ini terlihat lebih besar jika dibandingkan tahun 2018 yang berada di kisaran 10 persen. Sedang pada 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo sama sekali tidak menaikan tarif cukai rokok.

PMI selanjutnya mencatat bahwa pangsa pasar rokok tier 1 di Indonesia turun 6 persen secara tahunan menjadi 74 persen pada kuartal ketiga tahun ini, namun penurunan pangsa pasar sedikit melambat secara kuartalan karena pangsa pasarnya hanya terkontraksi 1 persen.

Menurut Fariz, kurangnya disiplin dalam penetapan harga di antara pemain tier 1 akan tetap menjadi masalah utama karena proses pemungutan cukai yang lambat dan menyebabkan kontraksi margin di antara para pemain.

“Kami pikir kondisi ini tidak mungkin segera pulih jika tidak ada reformasi struktur cukai oleh pemerintah melalui pemotongan berlapis, atau kenaikan cukai yang lebih tinggi bagi [perusahaan] non-tier 1 untuk menyamakan kedudukan,” terangnya.

Sekuritas pun menilai kinerja saham rokok seperti GGRM dan HMSP yang terkoreksi baru-baru ini juga disebabkan oleh ketidakpastian struktur tarif cukai pada 2021 mengingat pemerintah masih melakukan kajian untuk menemukan keseimbangan antara pengendalian konsumsi rokok dan industri untuk menghindari pemutusan hubungan kerja.

“Saat ini kami masih asumsikan kenaikan cukai sebesar 10 persen pada tahun 2021 mendatang dan belum berekspektasi adanya kenaikan cukai agresif,” sambungnya.

Rekomendasi Saham

Melihat dari data volume penjualan yang dirilis oleh PMI, Ciptadana Sekuritas sendiri merekomendasikan tahan saham HMSP dengan target harga Rp1.300, berdasarkan proyeksi PER 15,6 kali hingga 2021.

Target harga tersebut terbilang mengalami downside dibandingkan range harga rata-rata dalam enam bulan terakhir yang hanya menyentuh level support Rp1.385 dikarenakan prospek industri yang belum terlihat menguntungkan dan pangsa pasar yang melemah. 

Sebelumnya, ia merekomendasikan beli saham GGRM dengan potensi uptrend ke level Rp55.300 dikarenakan kinerjanya yang dianggap lebih baik dibandingkan performa industri dan produk rokoknya yang kaya rasa atau full flavour.

Dalam kesempatan yang berbeda, analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya memberikan rating netral untuk sektor tembakau.

“Sambil menunggu keputusan Menteri Keuangan tentang peraturan cukai 2021, kami mempertahankan pandangan netral untuk sektor tersebut,” tulisnya dalam riset, Kamis (22/10/2020).

Christine menilai selain dari daya beli masyarakat kelas bawah yang masih lemah selama pandemi, performa HMSP yang melambat juga disebabkan jarak antara kenaikan harga jual rata-rata atau average selling price yang semakin melebar dibandingkan dengan harga rokok yang diproduksi perusahaan rokok tier 2.

Sebelumnya, ia memberikan rekomendasi tahan saham HMSP dengan target harga Rp1.820, dan rekomendasi trading buy untuk saham GGRM dengan target harga Rp57.000.

“Mungkin ada [revisi target harga untuk GGRM], tapi belum tahu,” ungkapnya kepada Bisnis pekan ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper