Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah sentimen negatif masih membelenggu pergerakan harga minyak pada pekan ini.
Setelah dihempas oleh kekhawatiran penurunan permintaan, kabar Presiden Amerika Serikat Donald Trump terpapar Covid-19 turut menjadi penghambat pergerakan.
Berdasarkan data Bloomberg pada penutupan pasar Jumat (2/10/2020), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di bursa berjangka New York Mercantile Exchange untuk pengiriman bulan November 2020 terjungkal 4,31 persen ke level US$37,05 per barel.
Setali tiga uang, harga minyak Brent di bursa berjangka Eropa ICE untuk kontrak bulan Desember 2020 juga bernasib sama ditandai dengan koreksi 4,06 persen ke level harga US$39,27 per barel.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan kabar Trump yang terpapar virus mematikan tersebut menambah tekanan pergerakan harga minyak mentah pada perdagangan akhir pekan ini.
“Ketidakpastian yang menimbulkan kekhawatiran mendorong pasar keluar dari aset komoditi energi tersebut,” ungkap Ariston kepada Bisnis, Jumat (2/10/2020).
Baca Juga
Di sisi lain, perlambatan pemulihan ekonomi akibat penyebaran Covid-19 sendiri masih menjadi isu utama tekanan pada harga minyak.
Sebelumnya harga minyak telah tertekan karena kekhawatiran perlambatan pemulihan ekonomi global yang membuat permintaan turun, padahal Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC sudah berencana untuk menaikkan suplai.
Jumlah produksi negara anggota OPEC memang terpantau stagnan. Produksi dari Uni Emirat Arab mencatatkan hasil terendah dalam dua tahun, yang mengimbangi lonjakan ekspor minyak dari Arab Saudi serta tambahan dari Venezuela, Libya, dan Iran.
Di sisi lain, negara anggota OPEC lainnya, Irak, berkomitmen untuk memangkas lebih banyak produksi harian minyaknya setelah sempat melewati batas produksi yang ditetapkan OPEC beberapa waktu lalu.
Berdasarkan survey Bloomberg, OPEC rata-rata memproduksi 23,43 juta barel minyak mentah per hari pada September 2020. Jumlah ini berbeda tipis dengan produksi pada Agustus yang tercatat sebesar 24,39 juta barel.
Adapun catatan produksi minyak harian tertinggi ditorehkan pada April lalu sebesar 30,44 juta barel per hari. Hal ini terjadi setelah perang harga antara negara-negara penghasil minyak yang membuka kilang produksinya secara maksimal.
Dalam waktu dekat, Ariston mengatakan prospek pemulihan terlihat fluktuatif mengikuti perkembangan data-data ekonomi negara-negara maju dan berkembang. Pasar juga tengah menunggu kesepakatan stimulus AS yang bisa membantu memberikan sentimen positif ke harga minyak mentah.
“Ya secara teknis, harga minyak mentah WTI belum keluar dari tekanan sehingga masih ada potensi ke bawah $35 per barel,” ungkap Ariston.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan harga minyak mentah saat ini bukanlah posisi terendah dalam beberapa waktu terakhir.
“Ini pengaruh demand yang turun lagi karena beberapa negara ternyata ada yang grafik kasus Covid-19 naik lagi. Dalam artian second wave terutama salah satu konsumennya yaitu negara-negara di Eropa,” terangnya kepada Bisnis, Jumat (2/10/2020).
Namun demikian, Faisal meyakini bahwa negara pengimpor dari Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea Selatan masih bisa menjadi penyokong kenaikan permintaan minyak.
Secara garis besar, ia menilai ketidakpastian permintaan hingga akhir tahun ini akan membuat harga minyak masih akan bergerak fluktuatif.
“Kalau dampaknya terhadap ekonomi di Indonesia, penurunan harga minyak akan menguntungkan kalau ditransmisikan ke harga minyak domestik. Namun memang masalahnya, hal ini tidak terjadi,” sambungnya.
Menurutnya, dari sudut pandang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penurunan harga minyak justru menekan pendapatan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Namun demikian, ia percaya harga minyak masih akan tertahan di level harga US$30 hingga US$40 per barel dalam waktu dekat.