Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas mencetak rebound di akhir pekan seiring dengan respons pelaku pasar terhadap pendekatan baru bank sentral Amerika Serikat (AS) dalam menetapkan kebijakan moneter AS.
Dilansir dari Bloomberg, emas mencetak kenaikan terbesar dalam dua pekan sementara dolar AS menyentuh level terendah dalam dua tahun terakhir. Itu terjadi setelah Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell menyampaikan bank sentral akan menargetkan inflasi 2 persen.
Komentar Powell yang disampaikan di simposium bank sentral di Jackhole, Wyoming membuat harga emas melejit dibandingkan dengan sesi-sesi sebelumnya. Powell menyiratkan bank sentral akan tetap akomodatif dalam waktu lebh lama dengna pendekatan lebih toleran terhadap inflasi.
Harga emas berjangka Comex untuk pengiriman Desember 2020 naik 2,19 persen atau 42,30 poin ke posisi US$1.974,90 per troy ounce. Di awal pekan, harga emas Comex sempat jatuh ke posisi US$1.923,10 per troy ounce.
Sementara itu, harga emas di pasar spit melonjak 1,8 persen pada Jumat, menuju kenaikan mingguan pertama dalam tigak pekan. Harga emas sudah turun US$100 dolar dari rekor pada awal Agustus 2020. Kendati demikian, emas masih menjadi komoditas terbaik karena mencetak imbal hasil lebih dari 20 persen sejak awal tahun.
"Emas menguat karena penilaian yang lebih terukur dari perubahan nuansa The Fed, bersamaan dengan melemahnya dolar," ujar Rhona O'Connel, kepala analis pasar untuk kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia StoneX melalui surel.
Baca Juga
Vivek Dhar, analis di Commonwealth Bank of Australia mengatakan toleransi inflasi yang lebih tinggi dan suku bunga rendah akan membuat imbal hasil riil jatuh dalam jangka menengah hinga panjang sehingga mendukung penguatan harga emas.
Namun, fakta bahwa The Fed juga akan bertindak jika ada tekanan inflasi menambah karaguan pada seberapa tinggi ekspektasi inflasi 10 tahun AS dapat dicapai.
Kendati mengalami kenaikan, risiko koreksi tetap saja ada. Risiko terbesar emas adalah penemuan vaksin dan penurunan tajam di pasar saham.