Bisnis.com, JAKARTA — Tidak terasa sudah 43 tahun lamanya Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi muka pasar modal Indonesia. Meski jatuh bangun melewati beberapa kali penghentian perdagangan, BEI berhasil menjadi salah satu pasar modal terbesar di Asia Tenggara.
Jika menoleh ke belakang, sesungguhnya bursa efek pertama kali hadir di Indonesia pada 1912, didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Baru berjalan 2 tahun, bursa terpaksa ditutup karena Perang Dunia (PD) I.
Lalu, pada 1925, bursa dibuka kembali bersama dengan bursa efek di Semarang dan Surabaya. Namun, PD II membuat perdagangan di bursa lagi-lagi ditutup hingga 1952.
Sejak saat itu, pasar modal Indonesia tidak aktif hingga pada 10 Agustus 1977, bursa efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. Peresmiannya ditandai dengan pencatatan perdana saham PT Semen Cibinong Tbk.
Pada periode awal itu hingga 1987, perdagangan di bursa efek masih lesu dengan jumlah perusahaan tercatat hanya sebanyak 24 emiten. Maklum, masyarakat masih lebih banyak mengenal instrumen perbankan ketimbang produk pasar modal.
Hingga akhirnya, pemerintah menghadirkan Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
Setelah itu, makin banyak inovasi diluncurkan untuk memajukan pasar modal Indonesia. Bursa Efek Jakarta (BEJ) pun kemudian diswastanisasi pada 13 Juli 1992.
Tonggak sejarah lain ditorehkan saat Bursa Efek Surabaya bergabung dengan BEJ dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia pada 30 November 2007.
Pasar modal pun berkembang sangat pesat sejak saat itu. Pada tahun ini saja, sudah 34 emiten baru yang melantai di BEI sehingga total perusahaan tercatat mencapai 699 emiten.
Tidak kalah ciamik, total investor di pasar modal sudah mencapai 2,92 juta Single Investor Identification (SID) sampai akhir semester I/2020. Jumlah itu bertambah 436.019 atau naik 17,55 persen dari posisi akhir 2019.
Selain itu, pasar modal Indonesia pun telah melalui beberapa tantangan dan krisis, seperti krisis moneter 1998 dan krisis keuangan global pada 2008. Kala 1998, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok ke level terendah 256,83.
Sepuluh tahun kemudian, pada 2008, indeks jatuh ke level terendah saat itu, 1.113,62. Namun, IHSG perlahan bangkit dan satu dekade kemudian bahkan mengukir rekor tertingginya, yaitu di level 6.689.
Tapi, kini pasar modal kembali dihadapkan pada tantangan berat akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda. Hal itu ditambah dengan jurang resesi yang kian menganga, setelah pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 terkontraksi 5,32 persen.
Kendati sempat anjlok ke posisi 3.973,632 pada akhir Maret 2020, sekaligus posisi terendah tahun ini, kini IHSG sudah menguat 30,63 persen ke kisaran 5.143,893 pada penutupan Jumat (9/8/2020). Saat ini, total kapitalisasi pasar juga perlahan naik dan sudah mencapai Rp5.981,723 triliun.
Pekerjaan Rumah Utama
Di sisi lain, Direktur PT Anugrah Mega Investama Hans Kwee mengatakan di balik beberapa pencapaian luar biasa dari bursa, industri pasar modal dalam negeri masih memiliki pekerjaan rumah utama, yaitu memberikan edukasi dan literasi terhadap masyarakat.
Hal itu mengingat jumlah investor saat ini yang sesungguhnya masih di kisaran 1 persen dibandingkan dengan total penduduk Indonesia. Angka ini masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
“Edukasi masih perlu ditingkatkan. Dibandingkan dengan jumlah penduduk, pengguna di rekening bank, investor pasar modal masih cukup jauh dan itu akan terus menjadi kendala dan pekerjaan rumah utama,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (7/8).
Kemudian, makin banyaknya produk turunan derivatif menjadi tanda bahwa pilihan alternatif investasi di pasar modal dalam negeri makin variatif. Hanya, produk itu cenderung masih sepi peminat sehingga lagi-lagi edukasi dan literasi menjadi poin utama untuk selalu dilakukan dan didorong setiap tahunnya.
Menurut Hans, otoritas bursa bisa menggandeng lebih banyak guru dan dosen untuk memperkenalkan pasar modal lebih dini kepada masyarakat.
Senada, Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso mengemukakan edukasi dan literasi masih harus terus dilakukan, meskipun secara kualitas informasi dan kecepatan penyebaran informasi oleh investor ritel sudah berkembang dengan baik.
“Masih perlu adanya edukasi dan sosialisasi secara regular agar menjaga literasi keuangan secara umum,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (9/8).
Di sisi lain, Aria mengaku industri pasar modal dalam negeri sudah makin baik dengan adanya adopsi teknologi, seperti pembukaan rekening secara digital sehingga akan mempercepat jangkauan untuk segmen yang bersentuhan dengan internet walaupun secara jarak cukup jauh.
Industri pasar modal Indonesia juga memiliki ruang tumbuh yang paling besar dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, sehingga potensi berkembang masih besar. Ruang tumbuh itu termasuk dari sisi jumlah investor, jumlah emiten, jumlah pekerja di industri, kapitalisasi pasar, perbaikan regulasi, hingga teknologi.