Bisnis.com, JAKARTA — Imbas kebijakan Bank Indonesia menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate masih minim terhadap pergerakan yield surat utang pemerintah di pasar sekunder. Tingkat imbal hasil diprediksi masih sulit menjauh dari level 7 persen.
Pekan lalu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), yang berlangsung pada 15 Juli 2020—16 Juli 2020, memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,00 persen. Sejak Juli 2019, bank sentral telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 200 bps.
Sejalan dengan keputusan itu, suku bunga deposit facility juga diturunkan sebesar 25 bps menjadi 3,25 persen, dan suku bunga lending facility sebesar menjadi 4,75 persen.
Associate Direktur of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun akan kesulitan menembus level di bawah 7 persen. Oleh karena itu, diprediksi yield akan bergerak di rentang 7 persen—7,20 persen hingga akhir tahun.
Nico menyebut yield berpotensi mengalami kenaikan apabil korban terinfeksi Covid-19 semakain banyak. Kondisi itu membuat kekhawatiran prospek perekonomian semakin suram.
“Ternyata meskipun tingkat suku bunga mengalami penurunan namun tingkat resiko tidak dapat dihilangkan,” jelasnya, Selasa (21/7/2020).
Baca Juga
Berdasarkan data Bloomberg, imbal hasil surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun Indonesia parkir di level 7,047 persen pada Senin (20/7/2020) pukul 18:29 WIB. Posisi itu naik dari 7,033 persen pada akhir sesi Jumat (17/7/2020).
Sementara itu, yield SUN tenor 5 tahun Indonesia mengalami kenaikan dari 6,253 persen menjadi 6,262 persen. Selanjutnya, yield SUN tenor 15 tahun Indonesia juga mengalami kenaikan dari 7,485 persen menjadi 7,492 persen.
Adapun, yield SUN tenor 20 tahun Indonesia turun dari 7,539 persen menjadi 7,533 persen pada Senin (20/7/2020).
Sebagai catatan, pergerakan harga obligasi dan yield obligasi saling bertolak belakang. Kenaikan harga obligasi akan membuat posisi yield mengalami penurunan sementara penurunan akan menekan tingkat imbal hasil.
Sementara itu, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto memproyeksikan yield SUN tenor 10 tahun turun ke 6,5 persen—6,75 persen akhir 2020. Prediksi itu menurutnya berdasarkan beberapa pertimbangan.
Dari sisi global, lanjut dia, masih banyak kucuran stimulus moneter dari bank sentral negara maju. Tren suku bunga rendah juga masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Untuk domestik, Handy menilai secara valuasi yield Indonesia masih menarik. Kekhawatiran pembiayaan defisit anggaran juga berkurang karena ada burdeng sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia.
“Inflows mulai masuk meskipun size-nya masih relatif kecil. Concern utama di FX hedging cost yang masih tinggi namun kami melihat trennya semakin menurun saat ini,” paparnya.
Secara terpisah, Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengharapkan yield SUN 10 tahun dapat lebih rendah dari 6,9 persen akhir 2020. Tren pergerakan yield menurutnya menurun sejak bank sentral memangkas suku bunga acuan.
Kendati demikian, Fikri menilai asing belum masuk ke pasar SUN. Pasalnya, masih ada sejumlah risiko seperti geopolitik global dan rendahnya realisasi fiskal domestik.
“Risiko pandemi baik dalam lingkup domestik maupun global masih menjadi kendala utama investor asing masuk ke pasar SUN,” jelasnya.