Bisnis.com, JAKARTA - Fitch Ratings menilai eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China mendatangkan angin segar bagi sejumlah emiten di Tanah Air.
Lembaga pemeringkat internasional itu menyebutkan meningkatnya ketegangan dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu dapat mendorong beberapa perusahaan untuk memindahkan basis manufakturnya dari China ke Indonesia.
Hal itu untuk menghindari ketidakpastian geopolitik yang dapat menahan ekspansi perusahaan di tengah pandemi Covid-19.
“Relokasi kemungkinan dapat dimulai dari sektor farmasi terlebih dahulu,” tulis Fitch Ratings dikutip dari publikasi risetnya, Minggu (31/5/2020).
Adapun, eskalasi itu dapat menjadi angin segar bagi emiten pengembang lahan industri. Di tengah ekspektasi penurunan penjualan lahan industri yang dapat anjlok hingga 60 persen pada 2020 ini, maka terdapat peluang koreksi dari perlambatan.
Meski begitu, Fitch Ratings menilai permintaan untuk lahan industri berpotensi tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan permintaan properti hunian.
Sementara itu, pelonggaran kebijakan moneter yang diluncurkan otoritas moneter dan otoritas fiskal dapat menjadi sentimen positif karena akan mendukung permintaan properti dalam jangka panjang. Namun, tingkat suku bunga KPR yang turun bersamaan dengan suku bunga acuan, dalam jangka pendek belum akan mendorong permintaan.
Di sisi lain, PT Surya Semesta Internusa Tbk. (SSIA) menyebutkan pihaknya belum membukukan marketing sales pada kuartal I/2020. Meski begitu pihaknya telah mendapat pesanan tanah (booked) seluas 0,7 hektare senilai dengan Rp13 miliar. Sementara itu, sektor non-lahan diperkirakan menyumbang pendapatan Rp57 miliar sehingga total Rp71 miliar.
Johannes Suriadjaja, Presiden Direktur Surya Semesta Internusa mengharapkan penjualan pada semester II/2020 ini dapat segera pulih.
Johannes memperkirakan pendapatan bakal terkoreksi hingga 13 persen secara year on year pada tahun ini akibat dampak pandemi Covid-19. Tiga pilar bisnis utama perseroan, yaitu perhotelan, konstruksi, dan properti terdampak cukup besar akibat pandemi. Meski demikian, SSIA menargetkan untuk memasarkan 80 hektare penjualan tanah.
Sementara itu, PT Puradelta Lestari Tbk. (DMAS) telah membukukan marketing sales sebesar Rp654 miliar pada kuartal I/2020.
Direktur Puradelta Lestari Tondy Suwanto mengatakan bahwa jumlah itu setara dengan 33 persen dari target marketing sales 2020 sebesar Rp2 triliun.
“Kami sudah menjual 32 hektare lahan industri. Ini merupakan raihan hasil yang sangat baik, khususnya dalam situasi yang sulit seperti sekarang,” ungkapnya.
DMAS, lanjutnya, masih optimistis dapat meraih target marketing sales yang telah ditetapkan di awal tahun sebesar Rp2 triliun. Pasalnya, anak usaha Grup Sinarmas itu masih mengantungi permintaan lahan industri sekitar 130 hektare.
“Belum ada perubahan target penjualan di tahun 2020. Namun demikian, kami tetap terus meninjau dan menelaah dengan hati-hati perkembangan dunia usaha khususnya dalam beberapa bulan ke depan,” pungkasnya.
Presiden AS Donald Trump menggelar konferensi pers di Gedung Putih, Jumat (29/5/2020) waktu setempat terkait sikap Negeri Paman Sam terhadap China.
Trump mengatakan mengakhiri hubungan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dituding bersekongkol dengan China dan tidak memberikan informasi akurat terkait muasal penyebaran virus corona (Covid-19).
Trump juga mengancam akan mencabut status perdagangan khusus dengan Hong Kong yang sudah berjalan sejak 1992. Ancaman dilayangkan setelah legislatif China mengesahkan Undang-undang Keamanan Nasional yang dinilai mengancam otonomi Hong Kong.
Menurut Trump, tindakan China juga mengingkari formula 'Satu Negara Dua Sistem' dan membuatnya menjadi 'Satu Negara Satu Sistem'.
Perlu diketahui, status istimewa yang melekat pada Hong Kong memudahkan perjalanan dan perdagangan antara AS dan Hong Kong. Di bawah Undang-undang 1992,perusahaan yang berbasis di China untuk bisa mengakses teknologi AS yang dianggap sensitif terhadap keamanan nasional.
Di sisi lain , Trump juga memerintahkan regulator di sektor keuangan untuk memeriksa perusahaan China yang terdaftar di bursa saham Amerika Serikat dengan tujuan membatasi investasi AS di perusahaan tersebut. Warga negara China juga akan ditolak masuk ke wilayah AS karena dianggap sebagai ancaman keamanan.
Perlu dicatat, tindakan ini tidak termasuk penarikan dari perjanjian perdagangan fase pertama yang diteken Trump dengan Presiden China Xi Jinping pada Januari 2020 lalu.