Bisnis.com, JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. kembali mencatatkan rugi bersih pada 2019, sebesar US$503,65 juta, membengkak dibandingkan rugi yang dicatatkan pada tahun sebelumnya.
Mengutip laporan keuangan perseroan pada 2019, rugi bersih tersebut diakibatkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah penurunan pendapatan sebesar 18,45 persen secara year on year menjadi US$1,42 miliar.
Penurunan pendapatan lebih banyak disebabkan oleh kinerja penjualan produk baja di pasar domestik yang turun dari US$1,48 miliar menjadi US$1,04 miliar pada periode tersebut.
Penyumbang pendapatan lainnya dari bisnis jasa pengelolaan pelabuhan, real estate dan perhotelan, rekayasa dan konstruksi, dan jasa lainnya justru tercatat mengalami pertumbuhan. Namun, jumlahnya tidak signifikan.
Penurunan pendapatan juga diikuti berkurangnya beban pokok sebesar 11,73 persen, menjadi US$1,4 miliar. Dengan demikian, laba kotor perseroan pada tahun lalu mencapai US$16,89 juta, turun 88,97 persen.
Namun demikian, laba kotor itu harus berubah menjadi rugi saat masuk ke pencatatan bottom line. Pasalnya, hampir seluruh pos beban dan biaya justru mengalami kenaikan.
Baca Juga
Salah satunya adalah kenaikan rugi operasi yang meningkat 381,97 persen menjadi US$448,76 juta. Selain itu, perseroan juga mengalamim kenaikan beban operasi lainnya sebesar 190,27 persen menjadi US$284,26 juta.
Kinerja ini membuat perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar US$503,65 juta pada akhir 2019. Rugi bersih itu meningkat dari rugi bersih 2018 sebesar US$167,5 juta.
Sebelumnya, Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menyatakan perseroan sudah mulai mengikis kinerja buruk tersebut pada tahun ini. Hingga Februari dia mengklaim perseroan sudah mampu mencetak laba.
Meski begitu, perseroan kini tengah mengahadapi gejolak yang lebih besar akibat krisis Covid-19 di Indonesia. Penjualan industri baja mengalami penurunan lebih dari 50 persen hingga April—Mei.
Tahun ini perseroan juga berencana mendivestasikan anak usaha, di antaranya PT Kraktau Bandar Samudera (KBS) dan PT Krakatau Tirta Industri (KTI). Mulanya rencana itu akan mulai dieksekusi pada kuartal II/2020.
Belakangan, Silmy mengatakan bahwa perseroan akan mengkaji ulang rencana tersebut setelah adanya wabah Covid-19. Perseroan akan mencari waktu lain yang lebih pas untuk merealisasikan rencana itu.
“Rencana divestasi sedang kami review, ini berkaitan dengan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Sehingga kita mesti mencari waktu yang tepat,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Upaya divestasi anak usaha ini merupakan bagian dari komitmen perseroan terhadap restrukturisasi pinjaman bank US$2 miliar pada awal tahun. Perseroan membidik sedikitnya US$1 miliar dari divestasi anak usaha selama 3 tahun yang dimulai pada 2019.
Selain divestasi, fokus lain perseroan pada tahun ini adalah efisiensi. Biaya operasional per bulan akan ditekan ke kisaran US$16,5 juta. Adapun posisi per awal Februari adalah US$18 juta per bulan.
Efisiensi ini dilakukan untuk mengejar target earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) sebesar US$120 juta—US$150 juta. Namun, Silmy, mengisyaratkan perseroan akan meninjau kembali target itu seiring dengan adanya dampak Covid-19.
"Yang pasti target efisiensi tetap dilakukan. Untuk target EBITDA, saat ini belum bisa disampaikan, karena koreksi baru bisa dilakukan setelah melihat kondisi di kuartal kedua," ujarnya.