Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Eropa melemah paling tajam dalam hampir dua pekan terakhir pada perdagangan Senin (4/5/2020), karena investor memantau ketegangan AS dan China, pukulan terhadap data manufaktur, dan risiko dari pencabutan lockdown di berbagai negara.
Indeks Stoxx Europe 600 Index ditutup melemah 2,7 persen, didorong oleh sektor migas, perbankan, dan pembuat mobil. Pelemahan ini sekaligus yang terbesar sejak 21 April.
Saham Thyssenkrupp AG turun 14 persen setelah perusahaan ekuitas swasta Cinven and Advent dikabarkan mencari investor untuk membantu membayar untuk rencana akuisisi bisnis elevatornya. Ryanair Holdings Plc merosot 11 persen setelah mengumumkan akan memangkas 3.000 tenaga kerja.
Sebagian besar pasar saham Eropa hari ini dibuka kembali setelah libur hari Jumat, dan dibuka melemah akibat kekhawatiran tentang dampak virus corona pada pendapatan dan meningkatnya ketegangan AS-China.
Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo mengatakan ada "bukti besar" yang menunjukkan wabah virus dimulai di laboratorium di Wuhan, China, tetapi tidak memberikan bukti apa pun atas klaimnya.
"Kami melihat kemunduran yang sehat setelah reli April yang kuat," kata Ulrich Urbahn dari Joh Berenberg Gossler & Co., seperti dikutip Bloomberg.
Baca Juga
“Dalam beberapa pekan ke depan, pergerakan sideways diperkirakan terjadi karena investor yang berhati-hati dan adanya dukungan bank sentral. Namun, kenaikan tampaknya juga terbatas mengingat data makroekonomi yang memburuk dan valuasi saham yang tinggi," lanjutnya.
Data manufaktur Eropa juga membebani sentimen setelah IHS Markit menyebut pemulihan dari lockdown akan "sangat lambat," setelah produksi mengalami kemerosotan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada bulan April.
Indeks manufaktur Prancis dan Italia mencatat level terburuk sepanjang sejarah, sementara Spanyol dan Jerman berada pada posisi terlemah dalam sekitar 11 tahun terakhir.
Investor tengah mempertimbangkan upaya oleh negara-negara seperti Jerman, yang mulai melonggarkan lockdown, terhadap kekhawatiran gelombang kedua infeksi virus corona.
"Kami memperkirakan saham akan tetap fluktuatif karena pasar berjuang untuk menemukan keseimbangan antara pengumuman mengenai pencabutan lockdown, data tentang perawatan dan vaksin virus corona, rilis ekonomi, berita mengenai pandemi, dan perubahan dinamika politik," kata Mark Haefele, Chief Investment Officer di UBS Global Wealth Management.