Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Anjloknya IHSG dan Kebijakan Lockdown Lokal

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah anjlok sekitar 29,25 persen sejak awal tahun (ytd) dan berada di level 4.456,75.
Pengunjung menggunakan smarphone memotret layar monitor yang menampilkan pergerakan perdagangan harga saham di lantai PT Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Kamis (12/3/2020). Dalam perdagangan saham sesi, Kamis (12/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 5,01 persen ke level 4.895,748 pada pukul 15:33 WIB. Secara otomatis, perdagangan di Bursa Efek Indonesia pun mengalami suspensi. Bisnis/Dedi Gunawan
Pengunjung menggunakan smarphone memotret layar monitor yang menampilkan pergerakan perdagangan harga saham di lantai PT Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Kamis (12/3/2020). Dalam perdagangan saham sesi, Kamis (12/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 5,01 persen ke level 4.895,748 pada pukul 15:33 WIB. Secara otomatis, perdagangan di Bursa Efek Indonesia pun mengalami suspensi. Bisnis/Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA - Aksi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) hingga mendekati 0 persen dan menyuntikan likuiditas atau operasi quantitative easing dianggap sebagai upaya pre-emptive The Fed sebagai upaya menghadapi risiko disrupsi ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Meski demikian, aksi The Fed kembali membuat pasar bereaksi negatif dimana Dow Futures turun 1.000 poin pada perdagangan di Wall Street yang dibuka Senin (16/3/2020) pagi.

Di samping itu, harga minyak dunia juga anjlok menjadi USD 33,9 per barel selama pekan lalu, atau telah terpangkas 48,7 persen secara year to date (ytd) yang dilatarbelakangi oleh tak tercapainya kesepakatan antara Rusia dengan Saudi Arabia.

Adapun, di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah anjlok sekitar 29,25 persen sejak awal tahun (ytd) dan berada di level 4.456,75.

Sementara mata uang rupiah menjadi yang terlemah diantara negara Asia lainnya dengan penurunan sebesar 1,58 persen ke level 15.173 pada penutupan pasar, Selasa ini (17/3/2020).

Kepala Praus Capital Alfred Nainggolan mengungkapkan dirinya belum bisa memastikan titik terendah IHSG karena minimnya stimulus kasus penyebaran virus corona ini akan tuntas. Karena itu, ia pun meyakini akan ada trading halt IHSG lanjutan selain yang terjadi pada Selasa (17/3/2020) untuk ketiganya dalam pekan ini.

“Kalau pada tahun 2008, kita lihat concern-nya itu adalah masalah likuiditas. Jadi ketika The Fed menyuntik likuiditas, maka kita bilang case-nya selesai. Krisis keuangan mungkin kita bisa hitung-hitungan, tapi kalau sudah masalah seperti pendemi, apa solusinya kita belum tahu,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (17/3/2020).

Jikapun pemerintah akhirnya memberlakukan kebijakan lockdown seperti yang terjadi di China, Italia hingga Malaysia, hal itu didasari oleh pertimbangan keselamatan warga negara, bukan sekedar perhitungan dampak ekonomi yang akan mengikuti.

“Idealnya kalau bicara lockdown, berarti kita tidak bicara ekonomi lagi. Ranah ini sudah masuk ke basic hidup atau mati. Ekonomi bisa jadi close, tapi kita masyarakat tidak lagi mementingkan berapa penurunan ekonomi,” sambungnya.

Mengingat angka temuan kasusnya belum naik signifikan dan penyebarannya belum terlalu masif seperti di negara-negara lainnya, Alfred berharap pemerintah tidak gegabah dan bereaksi berlebihan terhadap desakan lockdown.

“Jangan sampai kecepatan (di-lockdown). Karena masih ada waktu untuk melihat peluang berjalannya aktivitas ekonomi. Ketika di-lockdown, konsekuensi ini yang memang harus diterima,” ujarnya.

Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, menyatakan secara teknis IHSG telah memasuki kelebihan jual (oversold) seperti yang ditunjukkan oleh level IHSG yang anjlok lebih rendah dari proyeksi laba.

“Dengan berbagai matriks ini, saham boleh diyakini sudah murah. Ini dapat menjadi moment of truth bagi investor yang berani untuk mengambil posisi untuk keuntungan jangka panjang,” ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers pada Selasa (17/3/2020).

Terhadap Bloomberg Fear and Greed, Budi memperkuat analisis dengan rasio Z score. Jika Z score ini lebih kecil dari minus 3 (-3) artinya, fear sudah berlebihan dan nilai saham sudah terbilang murah untuk kembali dikoleksi. Sementara, jika di atas dari plus 3 (+3) atau positif, berarti tingkat greed lebih besar yang menyarankan untuk aksi ambil untung.

Meski demikian, investor disarankan tetap waspada dengan mencermati perkembangan pasar keuangan di Amerika Serikat dan berinvestasi secara bertahap.

“Pengalaman mengajarkan bahwa krisis adalah waktu yang terbaik untuk menghasilkan uang, sekira orang punya uang menganggur dan ada keberanian. Pertimbangan mengambil risiko secara terukur. Jika benar, investor akan bahagia. Namun jika pun keliru, seorang bisa lebih bijaksana. Terutama bagi investor muda, belajarlah untuk berani. Tak ada yang bisa menggantikan pengalaman,” tutur Budi Hikmat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper