Bisnis.com,JAKARTA – Sistem auto rejection bawah (ARB) yang diimplementasikan oleh Bursa Efek Indonesia sejak Selasa (10/3/2020) dinilai dapat menahan koreksi indeks harga saham gabungan (IHSG). Namun demikian, kebijakan tersebut mengurangi likuiditas transaksi di pasar saham.
Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan asimetris auto rejection terhitung mulai Selasa (10/3/2020). Kebijakan itu menyusul tergerusnya indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga 6,58 persen pada sesi, Senin (9/3/2020).
Dalam kebijakan itu, harga saham hanya bisa turun 10 persen dalam satu hari. Artinya, bila terjadi penurunan menyentuh 10 persen, akan terkena auto rejection bawah.
Pada perdagangan Rabu (11/3/2020), IHSG bergerak zig-zag. Sempat menghijau, indeks kembali tersungkur 1,28 persen atau 66,721 poin ke level 5.154,105.
Berdasarkan data Bloomberg, terdapat sejumlah saham yang terkoreksi 10 persen pada sesi perdagangan, Rabu (11/3/2020). PT Binakarya Jaya Abadi Tbk. misalnya, sudah terkena ARB sejak sebelum pukul 11.00 WIB.
Saham emiten farmasi pelat merah, PT Phapros Tbk., juga menyentuh level ARB sejak pukul 10.00 WIB. Laju saham emiten berkode PEHA itu tersungkur 90 poin atau 10 persen ke level Rp810.
Baca Juga
Selanjutnya, saham PT Ifishdeco Tbk. juga mengalami ARB pada sesi perdagangan, Rabu (11/3/2020). Emiten berkode IFSH itu menyentuh Rp396 atau terkoreksi 44 poin pada sekitar pukul 14.00 WIB.
Research Analyst Artha Sekuritas Indonesia Dennies Christoper mengatakan ARB 10 persen cukup efisien untuk menopang harga. Namun, kebijakan itu menurutnya kurang baik untuk likuiditas saham karena transaksi sangat dibatasi.
Terkait dengan pergerakan IHSG, menilai tren bearish IHSG masih kuat. Penyebabnya, dampak dari corona, perlambatan ekonomi, serta penyesuaian dari penurunan harga minyak yang signifikan.
Dennies menyebut pemerintah memang sudah memberikan sederet insentif. Namun, masih banyak ketidakpastian yang membuat investor menurutnya masih cenderung wait and see dan belum berani agresif masuk pasar saham.
“Untuk investor saya rasa lebih baik wait and see dan jangan agresif membeli saham. Jika memegang saham bisa memanfaatkan teknikal rebound untuk keluar dan meminimalisasi kerugian,” jelasnya kepada Bisnis.com, Rabu (11/3/2020)
Dia menambahkan keputusan Bank of England untuk memangkas suku bunga 50 poin ke 0,25 persen juga cukup mengkhawatirkan investor. Hal itu langsung direspons pasar dengan aksi jual.
Sementara itu, Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio menilai kebijakan ARB 10 persen belum terlalu berdampak. Pasalnya, pasar modal Indonesia saat ini belum mengalami penurunan yang sangat tajam hingga saham bluechip atau penggerak indeks turun hingga 10 persen.
“Indeks turun karena saham perbankan yang mengalami koreksi karena Bank Indonesia akan merevisi turun estimasi pertumbuhan Indonesia. Kendati demikian, IHSG malah mengalami net buy senilai Rp142 miliar di pasar reguler,” paparnya.
Dia menyebut penurunan 10 persen kebanyakan dialami oleh emiten sektor konstruksi. Akan tetapi, kapitalisasi pasar saham di sektor itu menurutnya tidak sebesar perbankan.
Head of Research Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi menilai kebijakan ARB 10 persen efektif menahan pelemahan IHSG. Hal itu khususnya dari saham-saham yang mengalami aksi jual.
“Kalau tidak ada ARB 10 persen bisa saja IHSG lebih dalam dari penutupan sekarang,” ujarnya.
Lanjar mengatakan terdapat beberapa faktor yang menekan laju IHSG pada sesi perdagangan, Rabu (11/3/2020). Salah satunya aksi tunggu investor terhadap realisasi buyback tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS) oleh emiten.
Selain itu, dia menyebut pergerakan IHSG juga diwarnai oleh Indeks Dow Futures atau indeks berjangka ekuitas Amerika Serikat (AS) yang turun 2 persen. Indikator itu menurutnya belakangan menjadi pemicu pergerakan IHSG.
“Investor global pun dibuat menunggu pada kebijakan lanjutan pemerintah AS yang dijanjikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump awal pekan,” paparnya.