Bisnis.com, JAKARTA - Mendinginnya harga batu bara sepanjang tahun lalu, membuat emiten pertambangan berpelat merah PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) membukukan kinerja 2019 tidak secermelang tahun sebelumnya.
Berdasarkan laporan keuangan, perseroan membukukan laba tahun berjalan 2019 merosot hingga 21 persen, hanya sebesar Rp4,04 triliun dibandingkan dengan capaian perseroan pada 2018 sebesar Rp5,12 triliun.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan bahwa laba perseroan sekitar Rp4 triliun merupakan pencapaian luar biasa bagi perseroan mengingat harga batu bara pada tahun lalu bergerak dalam tekanan.
Sebagai informasi, sepanjang 2019 indeks harga batu bara di bursa Newcastle terkoreksi 28 persen dengan rata-rata harga sekitar US$77,77 per ton dari harga US$107,34 per ton dari pada periode yang sama tahun lalu.
“Namun, berkat efisiensi yang kami lakukan sepanjang tahun lalu dan optimasi biaya angkut dan sebagainya kami berhasil sentuh laba Rp4 triliun, kalau kami tidak melakukan apa-apa pasti akan lebih turun,” ujar Arifin pada saat konferensi pers kinerja 2019 perseroan di Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Arifin mengatakan bahwa pencapaian laba tersebut juga didukung oleh kinerja operasional perseroan yang mengalami kenaikan. Produksi batu bara naik 10,2 persen menjadi 29,1 juta. Kapasitas angkutan batu bara perseroan juga naik 7 persen menjadi 24,2 juta ton dari capaian tahun sebelumnya.
Baca Juga
Kenaikan produksi dan angkutan batu bara tersebut telah mendorong kenaikan penjualan batu bara sebesar 27,8 juta ton naik 13 persen dari tahun sebelumnya. Hal itu lah yang menyebabkan perseroan membukukan pendapatan sebesar Rp21,78 triliun pada 2019, naik 2,9 persen dibandingkan dengan pendapatan 2018 sebesar Rp21,18 triliun.
Adapun, pendapatan itu terdiri atas penjualan batu bara domestik sebesar 57 persen, batu bara ekspor 41 persen, dan aktivitas lainnya 2 persen. Pada tahun lalu, perseroan telah ekspansi ke pasar potensial seperti Jepang, Hongkong, Vietnam, Taiwan, dan Filipina serta merambah pasar baru seperti Australia, Thailand, Myanmar, dan Kamboja.
Kendati pendapatan naik, beban pokok pendapatan pada tahun lalu justru juga membengkak menjadi Rp14,17 triliun, naik 12,3 persen dari beban pokok pendapatan perseroan pada tahun sebelumnya sebesar Rp12,6 triliun.
Hal itu disebabkan besarnya biaya angkutan kereta api sejalan dengan peningkatan volume produksi perseroan dan stripping ratio pada 2019 menjadi sebesar 4,6 bcm per ton.
Kenaikan beban pokok pendapatan tersebut menyebabkan laba tahun berjalan PTBA pada 2019 menurun.
Di sisi lain, arus kas dan setara kas perseroan pada 2019 mencatatkan penurunan sebesar 24,5 persen menjadi Rp4,75 triliun dibandingkan dengan kas dan setara kas 2018 sebesar Rp6,3 triliun.
Meski laba tahun berjalan menurun, perseroan berhasil mencatatkan penurunan total liabilitas pada 2019 sebesar Rp7,67 triliun dibandingkan dengan liabilitas 2018 sebesar Rp7,9 triliun, turun 2,8 persen.