Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk menurunkan harga gas industri telah memberikan sentimen negatif terhadap pergerakan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. Ekuitas emiten berkode saham PGAS itu anjlok 12,9% sejak dua hari terakhir dan ditutup ke level 1.475 saat penutupan perdagangan, Rabu (5/2/2020).
Kepala Riset Koneksi Kapital Indonesia Marolop Alfred Nainggolan menilai, pemegang saham PGAS kecewa dengan keputusan pemerintah menurunkan harga gas industri. Kondisi itu direspons dengan reli aksi jual investor terhadap saham PGAS.
Menurut Marolop, investor menilai penugasan ini akan menggerus perolehan laba perusahaan yang akhirnya merugikan pemegang saham publik. Padahal, akhir tahun lalu, saham PGAS langsung terperosok 25,4% hanya dalam 2 hari (30 Oktober – 1 November 2019) pasca penolakan pemerintah terhadap rencana kenaikan harga gas dengan alasan mempengaruhi daya saing.
Marolop menegaskan, pemerintah perlu serius menyikapi reaksi investor. Terlepas rencana penurunan harga gas tersebut baik bagi industri, pemerintah tetap harus menghormati investor publik sebagai pemegang 43% saham PGAS.
Pemerintah, katanya, seharusnya bisa membedakan BUMN yang dikuasai penuh dengan yang dimiliki bersama publik. Pemerintah memiliki hak penuh jika penugasan seperti itu dibebankan kepada BUMN seperti PT Pertamina (Persero) atau PT PLN (Persero) di mana tidak ada kepemilikan saham publik.
“Pemerintah tidak bisa seenaknya mengambil kebijakan terhadap BUMN yang sudah go-public seperti PGAS, karena ada pemegang saham lain yang haknya harus dihormati.”
Terkait rencana penurunan harga gas industri, sambung Marolop, pemerintah sebaiknya tidak membebani PGAS sebagai perusahaan publik. Apalagi harga gas saat ini 70% kontribusi terbesarnya berasal dari harga beli gas di hulu. “Pemerintah punya ruang besar untuk menurunkan tanpa membebani PGAS.”
Dalam dua tahun terakhir, saham PGAS terkoreksi besar oleh kebijakan pemerintah seperti akuisisi Pertagas awal Juli 2018, saham PGAS turun 23,8% hanya dalam empat hari. Penolakan pemerintah terhadap rencana kenaikan harga gas dan yang terakhir penurunan harga gas industri juga ikut menggerus harga saham PGAS.
"Akan lebih baik jika pemerintah memutuskan PGAS go-private saja jika terus menerus melakukan intervensi terhadap bisnis perseroan."
Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menjelaskan, meski baru efektif penuh mulai 1 April 2020, investor sudah memberikan persepsi negatif terhadap PGAS. Dampak regulasi yang dipaksakan dari pemerintah agar PGAS menjual harga gas US$6 per MBBTU direspons dengan penurunan harga saham perusahaan berkode PGAS tersebut.
Herman menjalaskan, secara hitung-hitungan teknis, harga gas US$6 per MMBTU di tingkat pengguna sangat sulit diwujudkan dan dipastikan PGAS akan rugi. “Makanya investor jual saham ramai-ramai dan berdampak pada penurunan harga saham,” ujarnya, Rabu (5/2/2020).
Menurutnya, pemerintah harus memberikan subsidi atau insentif jika tetap memaksakan harga jual gas industri di bawah nilai keekonomian. Jika langkah tersebut tak dilakukan maka PGAS pasti akan merugi.
Herman berharap sektor migas tidak terus dibebani kebijakan penurunan harga gas sehingga industri migas baik hulu hingga hilir dapat menjalankan investasinya. Apalagi, biaya pembelian gas saat ini terus meningkat akibat berbagai kenaikan beban perusahaan di sektor hulu.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga gas pipa hulu untuk sektor industri per MBBTU selama 2019 relatif bervariasi. Kawasan Aceh (US$6,18- US$7,65), Jawa Barat (US$3,5 – US$8,24), Jawa Timur (US$6,01- US$8,2). Adapun di Kalimantan (US$3,4- US$7,3), Sulawesi (US$3,5 - US$6,55), Sumatra (US$5,8- US$7,95), serta Sumatra Utara (US$7,37- US$7,5).