Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja indeks BIsnis-27 ikut tertekan bersama indeks harga saham gabungan (IHSG) sejak awal tahun (year-to-date) sampai dengan November.
Namun, momentum window dressing pada Desember diperkirakan bisa mengangkat performa saham-saham berkapitalisasi besar (big caps) yang menjadi konstituen indeks Bisnis27.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per 29 November 2019, indeks Bisnis27 terdepresiasi 4,36 persen atau underperform dibandingkan IHSG yang melemah 2,95 persen.
Kendati demikian, indeks Bisnis27 masih outperform dari indeks IDX Value30 yang tertekan hingga 11,29 persen, indeks High Dividend20 yang turun 7,17 persen, dan indeks MNC36 yang melemah 5,68 persen.
Adapun, hampir seluruh indeks acuan tenggelam di zona merah kecuali indeks Infobank15 yang tumbuh 5,93 persen, indeks Pefindo i-Grade yang naik 5,20 persen, indeks IDX Growth 30 menguat 1,26 persen, dan indeks Sri-Kehati sebesar 0,30 persen.
Pelemahan sejumlah indeks juga merupakan dampak dari aksi jual bersih (net sell) yang dilakukan oleh investor asing. Pada periode yang sama, investor asing mencatatkan net sell sekitar Rp8,4 triliun.
Baca Juga
Nilai tersebut setelah mengecualikan transaksi skema crossing saham dari MUFG Bank Ltd. dalam rangka meningkatkan kepemilikannya di PT Bank Danamon Indonesia Tbk. dan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk. senilai total Rp49,6 triliun.
Bisnis Indonesia Research mencatat hingga akhir bulan lalu, investor asing masih melakukan aksi beli bersih (net buy) terhadap saham-saham konstituen indeks Bisnis27 senilai Rp1,27 miliar.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menyampaikan bahwa kondisi pasar pada November memang kurang menguntungkan, baik dari sisi eksternal maupun domestik.
Optimisme investor terhadap tercapainya kesepakatan dagang antara AS—China menguap setelah Presiden AS Donald Trump menandatangani legislasi yang mendukung demonstran di Hong Kong pada pertengahan pekan terakhir November 2019. Hal itu pun memicu kemarahan China yang berjanji akan membalas.
“Pasar menjadi khawatir kerena semakin dekatnya jadwal Washington untuk mengenakan tarif lebih besar terhadap barang-barang China pada 15 Desember. Bila tidak terjadi kesepakatan dan terjadi kenaikan tarif maka pasar akan merespons dengan negatif,” jelas Hans, Minggu (1/12/2019).
Sementara itu, data perekonomian AS yang tampil cukup baik pada pekan lalu semakin menenggelamkan harapan pemangkasan suku bunga dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) pada akhir tahun.
Dari dalam negeri, kondisi pasar masih panas seiring dengan kisruh pembubaran reksa dana oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hans melanjutkan, pembubaran 6 reksa dana milik PT Minna Padi Aset Manajemen yang menjanjikan imbal hasil pasti (fixed return) pada awal pekan lalu terbukti menekan kinerja IHSG.
Padahal, kondisi pasar global saat itu cukup bergairah seiring dengan muncul optimisme terkait isu perang dagang. Di sisi lain, IHSG justru ditutup melemah selama 6 hari berturut-turut.
“Senin, Selasa, dan Rabu, Dow membuat rekor kenaikan baru tetapi IHSG tertekan akibat aksi jual reksadana yang di bubarkan. Terbukti beberapa saham blue chip yang ada didalam daftar produk yang dibubarkan telah mengalami tekanan jual selama sepekan,” tutur Hans.
Berakhirnya aksi jual pembubaran reksa dana diharapkan membuat tekanan jual di pasar akan berkurang pada Desember. Hans berharap tidak terjadi aksi panik jual (panic selling) di pasar akibat kerugian yang terealisasi.
OJK pun diperkirakan masih akan membubarkan beberapa produk reksa dana yang menjanjikan return ke depannya. Sama dengan saat ini, hal itu tetap dapat memberikan tekanan lanjutan di pasar sampai kasusnya selesai.
Irwanti, Director & Fund Manager Schroders Indonesia mengingatkan kepada investor untuk selalu mengedepankan likuiditas serta kinerja investasi jangka panjang merespons kondisi sulit di pasar saham saat ini.
“Untuk investor, saat ini adalah kondisi dimana tidak berhasil mencapai suatu target adalah hal yang lebih baik, underperformance adalah menjadi sesuatu yang aman dan berkesinambungan,” katanya lewat Fund Manager Perspective yang diterima Bisnis.
Dirinya menunjukkan bahwa investor tampaknya terpaksa mengambil risiko yang lebih tinggi demi mengejar return yang semakin sulit dicari. Walaupun ada target yang mesti dicapai, investor diharapkan tetap memperhatikan aspek fundamental di tengah kondisi likuiditas pasar yang semakin tipis.