Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Hong Kong lagi-lagi mencatat kenaikan tajam lebih dari 1 persen. Namun, saham-saham di wilayah ini tak lantas telah aman dari tekanan aksi protes yang masih terus mencengkeram.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Hang Seng ditutup naik tajam 1,55 persen atau 412,71 poin di level 27.093,80 pada perdagangan Selasa (19/11/2019), level penutupan tertinggi dalam lebih dari satu pekan.
Hang Seng kembali unjuk gigi setelah mampu menguat 1,35 persen dan mengakhiri perdagangan Senin (18/11/2019) di posisi 26,681,09. Reli selama dua hari perdagangan pekan ini sekaligus mengikis sebagian penurunan brutal yang dialami Hang Seng pada pekan sebelumnya.
Tak tanggung-tanggung, penguatan yang dibukukan pada akhir perdagangan Selasa juga membawa Hang Seng mengungguli sebagian besar indeks saham di Asia.
Indeks Shanghai Composite dan CSI 300 China masing-masing berakhir menguat 0,85 persen dan 1 persen. Indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang bahkan ditutup terkoreksi 0,23 persen dan 0,53 persen.
Optimisme investor atas secondary listing Alibaba di bursa Hong Kong menjadi salah satu sentimen pendorong penguatan Hang Seng. Penawaran saham perdana (IPO) raksasa e-commerce asal China itu rupanya tidak banyak terpengaruh oleh krisis politik di Hong Kong.
Menurut sumber terkait, seperti dilansir Reuters, Alibaba akan berhenti menerima order dari investor institusional prospektif lebih awal dari perkiraan setelah menarik permintaan yang kuat.
Sebelum mengincar bursa Hong Kong, perusahaan telah terlebih dahulu mencatatkan sahamnya di New York Stock Exchange (NYSE) pada 2014.
Menurut prospektus yang diajukan kepada regulator New York, saham Alibaba akan mulai diperdagangkan di Bursa Efek Hong Kong (Hong Kong Stock Exchange) pada 26 November.
Sentimen ini menambah stamina pasar setelah People’s Bank of China pada Senin (18/11) secara tak terduga memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak 2015.
Bank sentral China itu juga mensinyalkan bahwa para pembuat kebijakan siap bertindak untuk menopang perlambatan pertumbuhan.
Masih Terancam
Kendati demikian, kurangnya kepastian tentang progres nyata dalam pembicaraan perdagangan Amerika Serikat-China tetap membuat investor berhati-hati.
Sebagian besar pedagang menunggu kejelasan mengenai kesepakatan perdagangan "fase satu" antara kedua negara yang sempat dinyatakan tengah menuju tahap akhir meskipun belum terselesaikan.
Mengutip perkataan seorang sumber pemerintah China, pada Senin (18/11) CNBC melaporkan bahwa China merasa pesimistis soal mencapai kesepakatan perdagangan dengan pemerintah Amerika Serikat.
Hal tersebut lantaran Presiden AS Donald Trump enggan untuk mengurangi tarif. Kabar terbaru ini serta merta menunjukkan bahwa resolusi untuk risiko terbesar bagi ekonomi global ini masih sulit dicapai.
Sebelumnya, ada ekspektasi tinggi bahwa pemerintah AS dan China akan menandatangani kesepakatan perdagangan "fase satu" pada November guna mengurangi tensi konflik perdagangan dan tekanan terhadap pasar keuangan global selama 16 bulan terakhir.
Namun, belum juga bangkit dari akibat perang dagang AS-China, bursa saham Hong Kong semakin didera oleh aksi unjuk rasa aktivis pro-demokrasi yang telah melumpuhkan aktivitas di penjuru kota sekaligus meremukkan perekonomiannya.
Berangkat dari penolakan atas rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi ke China daratan, aksi protes warga Hong Kong telah meluas untuk menuntut demokrasi lebih besar di wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah China ini.
Sejak aksi protes dimulai pada 9 Juni 2019, indeks Hang Seng terpantau membukukan penurunan 1,76 persen. Sementara itu, nilai tukar dolar Hong Kong terdepresiasi 0,2 persen terhadap dolar AS.
Data pemerintah mengkonfirmasikan pada Jumat (15/11/2019) bahwa Hong Kong telah tenggelam ke dalam resesi, untuk pertama kalinya dalam satu dekade pada kuartal III/2019, akibat terbebani eskalasi aksi protes anti-pemerintah dan sengketa perdagangan Amerika Serikat-China.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 pun direvisi turun karena kerusuhan politik yang berkepanjangan. PDB secara keseluruhan untuk tahun ini diperkirakan akan terkontraksi 1,3 persen dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, aksi protes yang berkepanjangan dan kondisi ekonomi yang terbenam dalam resesi memantik harapan langkah-langkah stimulus baru oleh pemerintah guna menghidupkan kembali pertumbuhan pusat keuangan Asia ini.
“Mengakhiri kekerasan dan memulihkan ketenangan adalah penting bagi pemulihan ekonomi. Pemerintah akan terus memantau situasi dengan seksama dan mengajukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung perusahaan dan perlindungan,” tutur pemerintah, seperti dikutip dari Reuters.
Tommy Wu, ekonom senior di Oxford Economics, memprediksi kontraksi PDB akan mencapai 1,5 persen untuk 2019 dan berlanjut hingga tahun depan.
"Mengingat betapa buruknya sentimen, kami tidak mengharapkan stimulus akan memberikan dampak yang berarti sampai kerusuhan politik berhenti. Tapi ada kemungkinan terdapat lebih banyak stimulus di masa depan," ujar Wu, dikutip dari Bloomberg.