Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah pada perdagangan hari kedua berturut-turut, Kamis (14/11/2019), di tengah beban yang dialami pasar saham global pascarilis sejumlah data ekonomi China.
Berdasarkan data Bloomberg, pergerakan IHSG ditutup melemah 0,71 persen atau 43,55 poin di level 6.098,95 dari level penutupan perdagangan sebelumnya.
Pada perdagangan Rabu (13/11), IHSG mengakhiri pergerakannya di level 6.142,5 dengan pelemahan 0,62 persen atau 38,49 poin.
Pelemahan indeks mulai berlanjut dengan dibuka terkoreksi 0,08 persen atau 4,97 poin di posisi 6.137,53 pada Kamis (14/11) pagi. Level penutupan yang dibukukan hari ini adalah yang terendah sejak 10 Oktober. Sepanjang perdagangan, IHSG bergerak di level 6.062,98 – 6.146,40.
Delapan dari sembilan sektor berakhir di zona merah, dipimpin infrastruktur (-1,72 persen) dan aneka industri (-1,61 persen). Satu-satunya sektor yang menetap di wilayah positif adalah properti dengan kenaikan tipis 0,02 persen.
Dari 660 saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini, sebanyak 138 saham menguat, 267 saham melemah, dan 255 saham stagnan.
Saham PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dan PT Astra International Tbk. (ASII) yang masing-masing turun 2,41 persen dan 2,23 persen menjadi penekan utama pergerakan IHSG pada akhir perdagangan.
Menurut tim riset Samuel Sekuritas Indonesia, IHSG kembali tertekan dan melemah di tengah minimnya sentimen yang menjadi pendorong laju indeks.
Dalam publikasi risetnya, Samuel Sekuritas menuliskan tarik ulur yang terjadi antara negosiasi dagang AS-China masih menjadi sentimen negatif bagi investor global. Di sisi lain, ekonomi di Eropa terus melemah.
“Inflasi Jerman bulan Oktober mencapai 1,1 persen yoy dari 1,2 persen yoy, sementara Inggris turun ke 1,5 persen yoy dari 1,7 persen yoy pada periode sebelumnya,” paparnya.
Sejalan dengan IHSG, indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang masing-masing melemah 0,94 persen dan 0,76 persen, sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,93 persen. Pelemahan bursa saham di Hong Kong dan Tokyo pun mendorong pelemahan bursa Asia pada umumnya.
Namun di China, dua indeks saham utamanya, Shanghai Composite dan CSI 300 mampu naik 0,16 persen dan 0,15 persen masing-masing, didorong ekspektasi stimulus akibat lesunya data ekonomi. Adapun indeks Kospi Korea Selatan berakhir menguat 0,79 persen.
Dilansir dari Bloomberg, bursa saham Jepang memperpanjang penurunannya setelah sejumlah indikator aktivitas ekonomi China dilaporkan tumbuh di bawah ekspektasi pada bulan lalu di tengah perang dagang AS-China yang berkepanjangan.
Biro Statistik National (NBS) China pada Kamis (14/11/2019) melaporkan produksi industri naik 4,7 persen pada Oktober 2019 dari tahun sebelumnya, lebih rendah dari estimasi median untuk peningkatan sebesar 5,4 persen.
Sementara itu, penjualan ritel pada Oktober berekspansi 7,2 persen dibandingkan dengan proyeksi kenaikan 7,8 persen.
Adapun investasi aset tetap melambat menjadi 5,2 persen sepanjang 10 bulan pertama tahun ini. Raihan tersebut lebih rendah dari proyeksi 5,4 persen sekaligus adalah yang terendah sejak perhitungan data dilakukan pada 1998.
Perlambatan lebih lanjut dalam ekonomi China pada bulan lalu menandakan bahwa upaya para pembuat kebijakan untuk meningkatkan output memberi dampak terbatas.
Di sisi lain, investor terus menantikan kabar tentang tanggal dan lokasi penandatanganan kesepakatan perdagangan “fase satu” antara pemerintah AS dan China yang masih juga belum ditetapkan kedua belah pihak hingga kini.
Meski demikian, Presiden Donald Trump mengatakan bahwa pembicaraan perdagangan AS-China telah bergerak dengan "sangat cepat".
“Pelemahan dalam investasi dan produksi akan menunjukkan bahwa kepercayaan menurun," kata Shane Oliver, kepala ekonom di AMP Capital, Sydney.
“Ini memberi lebih banyak tekanan pada otoritas China untuk mencapai kesepakatan dengan Donald Trump mengenai perdagangan, seperti keinginan Presiden Trump untuk terpilih kembali memberinya tekanan untuk mencapai kesepakatan,” tambahnya, dikutip dari Reuters.
Bersama IHSG, nilai tukar rupiah ditutup terdepresiasi tipis 9 poin atau 0,06 persen di level Rp14.088 per dolar AS pada Kamis (14/11), setelah berakhir melemah 25 poin di posisi 14.079 pada perdagangan Rabu (13/11).
Nilai tukar rupiah melemah pada hari kedua di tengah lesunya prospek kesepakatan perdagangan parsial antara AS-China, sehingga membebani sentimen risiko.
Nicholas Mapa, ekonom di ING Groep NV, mengatakan pergerakan rupiah terpukul oleh pergeseran umum dalam sentimen penggerak.
"Selama beberapa pekan terakhir para pelaku pasar terpikat dengan ekspektasi untuk kesepakatan fase pertama, yang sebagian besar belum terjadi, sementara itu, belum banyak perincian dalam perkembangan terkini,” ungkap Mapa, seperti dikutip Bloomberg.
Mengingat kurangnya kemajuan nyata yang terjadi, pelaku pasar memilih untuk mundur dan menunggu kejelasan lebih lanjut.
Sementara itu, di depan Komite Ekonomi Bersama (Joint Economic Committee/JEC) Senat AS pada Rabu (13/11/2019), Gubernur Federal Reserve Jerome Powell berpegang pada pandangannya bahwa suku bunga AS akan bertahan setelah tiga kali penurunan berturut-turut.
Powell melanjutkan dampak tiga kali pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, masih belum sepenuhnya dapat dirasakan dalam mendukung pengeluaran rumah tangga dan bisnis. The Fed baru akan melanjutkan penurunan suku bunga jika ada perubahan material dalam proyeksi ekonomi.
Saham-saham penekan IHSG: | |
---|---|
Kode | Penurunan (persen) |
TLKM | -2,41 |
ASII | -2,23 |
MAYA | -7,41 |
BYAN | -6,92 |
Saham-saham pendorong IHSG: | |
---|---|
Kode | Kenaikan (persen) |
UNVR | +1,12 |
MDKA | +4,35 |
MYRX | +22,00 |
BRAM | +19,95 |
Sumber: Bloomberg