Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat BUMN meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir agar memberantas korupsi di sektor perusahaan pelat merah.
Hal ini mengingat korupsi di sektor tersebut terbilang sangat kronis menyusul sejumlah direksi perusahaan BUMN di era menteri sebelumnya telah menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apalagi, besarnya aset yang dikelola saat ini tercatat mencapai lebih dari Rp8.092 triliun dengan kontribusi terhadap penerimaan APBN sebesar Rp422 triliun.
Dalam catatan KPK, hingga 17 Oktober 2019 tercatat ada 73 kasus melibatkan perusahaan pelat merah dari total 1.007 kasus yang ditangani KPK.
Selain itu, sesuai arahan Presiden Joko Widodo pada 38 menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik agar tidak melakukan korupsi serta menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.
“Penegakan hukum yang konsisten dan perbaikan ekosistem BUMN mutlak harus dijalankan [di bawah pimpinan Erick Thohir],” ujar pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Management FEB Universitas Indonesia Toto Pranoto saat dihubungi, Kamis (24/10/2019).
Baca Juga
Dalam sejumlah kasus di KPK yang melibatkan perusahaan BUMN, rata-rata korupsi yang dilakukan oleh pejabat perusahaan BUMN adalah terkait suap proyek.
Menurut Toto, kemungkinan terjadinya praktik suap tersebut lantaran perusahaan masih harus mengeluarkan banyak biaya non teknis untuk kelancaran bisnisnya.
“Maka memang tidak bisa dihindari kemungkinan terjadinya korupsi,” katanya.
Toto mengatakan bahwa terulangnya korupsi yang melibatkan petinggi di perusahaan BUMN tak dipungkiri lantaran regulasi yang mengatur tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan UU Tipikor dinilai tidak terlalu menakutkan bagi sebagian oknum pejabat.
Selain itu, praktik suap juga bisa terjadi lantaran atas inisiatif sendiri atau tuntutan lingkungan yang masih menghendaki adanya kultur suap menyuap.
“Sepanjang kultur yang melingkupi ekosistem BUMN belum bisa bersih sepenuhnya, maka kemungkinan terjadinya korupsi masih sangat mungkin terjadi,” ujarnya.
Dia juga mengatakan bahwa kondisi internal BUMN dan skema kompensasi direksi BUMN dinilai sudah lebih baik dalam beberapa tahun terakhir dan sudah lebih kompetitif.
“Jadi kalau mereka masih terlibat korupsi memang sepatutnya di hukum seberat-beratnya,” katanya.
TEROBOSAN
Untuk itu, Toto menyarankan sejumlah hal di masa kepemimpinan Erick Thohir agar tidak terulang lagi kasus suap di lingkungan BUMN. Setidaknya, Kementerian BUMN harus melakukan beberapa terobosan.
Pertama, fungsi monitoring oleh dewan komisaris harus diperkuat sehingga pengawasan BUMN lebih efektif. Menurutnya, dewan komisaris bukan lagi sekedar pajangan.
Kedua, proses fit proper test calon direksi lebih harus lebih diperketat. Potensi calon direksi bermasalah menurutnya karena benturan kepentingan.
Ketiga, pencegahan korupsi dengan kampanye sadar hukum bersama KPK dan Kejagung juga harus lebih diintensifkan.
Terakhir, law enforcement perlu ditegakkan tanpa tebang pilih.
Toto juga mengatakan bahwa penempatan personel KPK di perusahaan BUMN sebaiknya tak perlu dilakukan. Hal ini lantaran telah ada whistle blowing system (WBS) yang diterapkan di BUMN sebagai bagian kerja sama dengan KPK.
“Beberapa tenaga mantan KPK sudah direkrut oleh BUMN. Saya kira ini sudah cukup, yang penting efektivitas pelaksanaannya. Terlalu banyak pengawas kalau tidak efektif akan percuma saja. Malah menambah birokrasi,” katanya.
Aktivis antikorupsi dari Visi Integritas Danang Widoyoko mengatakan bahwa upaya untuk menghentikan praktik korupsi di BUMN adalah memperkuat sistem pengawasan.
Tak hanya itu, perlu langkah yang tegas dengan mencopot direksi yang terindikasi kasus korupsi.
“Penting untuk mendisiplinkan direksi-direksi BUMN. Korupsi indikasi direksi BUMN punya agenda lain, bukan memajukan perusahaan. Menteri [Erick Thohir] perlu buat sistem pengawasan,” tuturnya dihubungi terpisah.
Pengamat BUMN itu juga menyarankan agar Erick Thohir segera menjalin komunikasi dengan KPK sesuai arahan yang diberikan oleh Jokowi pada jajaran menterinya untuk menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.