Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Kinerja Bank BUMN di Awal Duet Jokowi-Ma’ruf

Tidak hanya pertumbuhan kredit yang melambat tetapi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan juga hanya bertumbuh 7,62 persen (yoy), ditopang oleh pertumbuhan deposito sebesar 7,86 persen (yoy)
Karyawan beraktivvitas di dekat papan penunjuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (7/1/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Karyawan beraktivvitas di dekat papan penunjuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (7/1/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Penyaluran kredit perbankan di Indonesia menunjukkan tren perlambatan hingga Agustus 2019. Hal ini ditunjukkan dengan penyaluran kredit perbankan yang mencapai Rp5.489,6 triliun pada Agustus 2019 atau bertumbuh 8,59 persen year-on-year (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan Juli 2019 di level 9,58 persen (yoy).

Tidak hanya pertumbuhan kredit yang melambat tetapi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan juga hanya bertumbuh 7,62 persen (yoy), ditopang oleh pertumbuhan deposito sebesar 7,86 persen (yoy). Berdasarkan rilis laporan keuangan perbankan pada Semester I/2019, rata-rata penyaluran kredit bank big caps dalam coverage kami bertumbuh sebesar 14,21 persen yoy dimana BBNI dan BBTN mencatatkan pertumbuhan kredit tertinggi masing-masing sebesar 19,97 persen yoy dan 18,78 persen yoy.

MNCS menilai pertumbuhan kredit hingga akhir tahun 2019 akan bergerak moderat, didukung oleh beberapa hal berikut. Pertama, ketidakpastian perekonomian global. Kedua, ketegangan politik dalam negeri. Ketiga, lesunya iklim bisnis dan investasi, terutama beberapa saat menjelang Pemilu, dan keempat, ketatnya likuiditas di mana rata-rata loan to deposit ratio (LDR) perbankan BUMN mencapai 95 persen pada 8M19. MNCS memprediksikan target pertumbuhan kredit sektor perbankan tahun ini (FY19E) dan tahun depan (FY20F) berada pada level 10,83 persen yoy dan 11,47 persen yoy.

Selanjutnya bagaimana tantangan industri perbankan dari ketatnya penilaian kualitas aset? Kualitas aset perbankan belum menunjukkan perbaikan, khususnya pada bank BUMN. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah bruto (NPL gross) perbankan nasional pada Agustus 2019 meningkat pada level 2,60 persen (versus 2,55 persen pada Juli 2019 dan 2,50 persen pada Juni 2019).

Meski demikian, rasio tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode Agustus 2018 sebesar 2,74 persen. MNCS menilai penyebab kenaikan NPL perbankan antara lain didorong oleh, pertama, proses restrukturisasi beberapa anak usaha BUMN seperti pada PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Kedua, kasus gagal bayar kredit di sejumlah perusahaan swasta yang melibatkan beberapa bank nasional. Salah satu contohnya adalah kasus gagal bayar bunga obligasi anak usaha PT Duniatex senilai US$12,9 juta.

Melihat potensi kenaikan risiko kredit di masa mendatang, MNCS memproyeksikan tingkat NPL gross perbankan nasional berada di kisaran level 2,50 persen/2,40 persen pada FY19E/FY20F. Adapun mitigasi risiko dan strategi melalui restrukturisasi, provisi dan write-off diperlukan dalam rangka menjaga kualitas aset perbankan.

Apabila melihat perkembangan net interest margin (NIM), MNCS melihat penurunan NIM masih terjadi hingga semester I/2019 sebagaimana yang terjadi pada beberapa bank BUMN seperti BBNI, BMRI, dan BBRI. MNCS meyakini penurunan NIM akan berlanjut hingga akhir tahun ini pada level 4,66 persen di tengah ketatnya likuiditas sektor perbankan.

MNCS masih meyakini bahwa prospek pertumbuhan bisnis perbankan BUMN pascapelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan lebih positif.

Hal ini didukung oleh lebih jelasnya susunan kabinet dan arah perekonomian yang diharapkan dapat memberikan sentimen yang lebih positif terhadap dunia usaha.

Oleh karena itu, MNCS memproyeksikan rata-rata pertumbuhan net profit perbankan BUMN (BBRI, BMRI, BBNI, BBTN) pada FY19E/FY20F masing-masing berada pada level 7,31 persen yoy/12,29 persen yoy.

Meskipun demikian, MNCS memberikan beberapa catatan atas tantangan yang akan dihadapi oleh sektor perbankan nasional pada FY20F, khususnya terkait dengan beberapa isu negatif terhadap beberapa perbankan BUMN yang berencana terlibat dalam proses restrukturisasi dari institusi pemerintah yang saat ini masih mengalami kerugian.

Selain itu, penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan/PSAK 71 (International Financial Reporting Standards/IFRS9) berpotensi menekan kinerja perbankan dengan coverage ratio yang masih rendah, seperti yang terjadi pada BBTN.

Namun MNCS meyakini sektor finansial masih menjadi pilihan yang menarik hingga tahun 2020. Hal ini didasarkan oleh tingginya pembobotan sektor finansial terhadap IHSG dengan kontribusi sebesar 38,69 persen terhadap total market capitalization.

MNCS merekomendasikan, pertama, BBRI (buy; TP/take profit: Rp4.400) didorong oleh masih tingginya NIM di level 7 persen hingga FY19E dan strategi transformasi digital yang dilakukan.

Kedua, BBNI (buy; TP: Rp9.800) didukung oleh valuasi yang menarik dengan price to book value (PBV) berada pada level 1,17x pada FY19E dibandingkan dengan rata-rata PBV perbankan BUKU IV yang berada pada level 2,04x pada FY19E.

Di sisi lain, MNCS menilai terdapat potensi peningkatan risiko yang lebih besar pada BBTN dikarenakan tingginya tingkat NPL gross sebesar 2,94 persen pada FY19E.

Victoria Venny, Riset Institusi MNC Sekuritas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper