Bisnis.com, JAKARTA – Pada tahun 2015 kinerja PT Blue Bird Tbk melonjak seiring dengna pendapatan yang mencapai rekor tertinggi. Namun, capaian tersebut tak bertahan lama setelah muncul pesaing dari transportasi daring, Uber, dan diikuti oleh Grab dan Gojek.
Dilansir dari Bloomberg, persaingan dari transportasi online tersebut menghapus nilai pasar emiten berkode saham BIRD tersebut hingga US$1,7 miliar, atau hampir 80 persen dari nilai pasar tertingginya. Pendapatan anjlok 23 persen sepanjang tiga tahun terakhir.
Alih-alih menyerah, operator taksi yang telah beroperasi selama 54 tahun tersebut kini berusaha mengubah keadaan. Noni Sri Aryati Purnomo, yang menggantikan ayahnya pada bulan Mei 2019 sebagai Direktur Utama Blue Bird memimpin langkah perubahan ini.
Empat bulan setelah menjabat, Noni mengandalkan teknologi untuk mengubah bisnis taksi yang dimulai pada tahun 1965 ini. Salah satu rencana bisnis perusahaan adalah fokus pada pada kendaraan listrik yang dibuat oleh Tesla Inc. dan BYD Co untuk mengurangi biaya armada serta meningkatkan efisiensi.
"Kami memutuskan untuk melakukan lompatan besar. Dengan lompatan ini, kami berharap kami dapat mengatasi kekurangan kami dan mengejar ketinggalan dengan para pesaing,” ungkap Noni, seperti dikutip Bloomberg pekan lalu.
Meskipun keberlanjutan adalah prioritas utamanya, tujuan Purnomo pada akhirnya adalah untuk mengalahkan raksasa teknologi yang telah mengubah industri yang dulu didominasi oleh perusahaan taksi kecil dan keluarga. Dia menantang Grab, raksasa transportasi online yang berbasis di Singapura.
Baca Juga
Namun tantangan terberat Purnomo adalah meyakinkan investor bahwa perusahaannya ada di sini untuk bertahan dan berkembang. Saham Blue Bird ditutup di posisi Rp2.590 per lembar saham pada akhir perdagangan Jumat (20/9), melemah 10 poin dari perdagangan sebelumnya.
Saham BIRD sempat mencapai nilai tertinggi sepanjang masa sebesar Rp12.500 per lembar saham pada Januari 2015, beberapa bulan setelah Blue Bird meraih Rp2,31 triliun dari penawaran umum perdana.
Noni telah menambahkan lebih dari 20 mobil listrik ke dalam armada taksi Blue Bird yang jumlahnya mencapai kisaran 30.000 dan beroperasi di kota-kota di Jawa, Sumatra, Bali, Lombok, dan Batam. Perusahaan menargetkan untuk memiliki 2.000 taksi mobil listrik dari Tesla dan BYD.
Mobil listrik dapat memberikan keunggulan bagi perusahaan karena memiliki efisiensi biaya yang tinggi. Menurut Noni, biaya operasional mobil listrik dapat mencapai 40 persen lebih rendah daripada mobil bertenaga bahan bakar minyak dan menghasilkan pendapatan 30 persen lebih tinggi.
Selain itu, pesaing Blue Bird tidak dapat mengikuti langkah perusahaan dengan mudah. Mobil listrik akan membuat pengemudi untuk menanggung biaya pembiayaan mobil listrik yang mahal, proposisi ini berisiko bagi sebagian besar individu, katanya.
"Kami memiliki model bisnis yang berbeda dan perusahaan dapat mengambil risiko tersebut dari pengemudi," katanya.
Stasiun Pengisian Daya
Kurangnya infrastruktur daya di Indonesia masih merupakan tangangan tersendiri. Saat ini, Blue Bird memiliki fasilitas pengisian di kantor utamanya, sementara terdapat satu stasiun pengisian di Bandara Soekarno Hatta.
Pemerintah sedang berusaha meningkatkan ketersediaan stasiun pengisian daya di mal dan tempat-tempat umum lainnya untuk membantu meningkatkan penjualan mobil listrik.
Blue Bird juga akan berinvestasi di bidang internet of things (IoT) dan kemungkinan akan mendapatkan dorongan dengan peluncuran jaringan nirkabel 5G. IoT akan membantu Blue Bird mengumpulkan data dan meningkatkan efisiensi operasional serta menerapkan penetapan harga yang dinamis, yang merupakan model tarif variabel yang populer di kalangan perusahaan seperti Uber, Lyft Inc., dan Grab.
Noni mengatakan perusahaan saat ini memiliki kemampuan teknis untuk berkompetisi dari sisi modal, tanpa menjelaskan rencananya untuk meningkatkan modal. Di sisi lain, Grab masih punya uang modal untuk dihabiskan. Dengan valuasi mencapai US$14 miliar, Grab masih berencana untuk mengumpulkan lebih dari US$4,5 miliar dalam putaran pendanaan terbarunya.
Analis di Fitch Solutions, Kenny Liew, mengatakan rendahnya tarif Gojek dan Grab telah menyebabkan pelanggan berpindah dari perusahaan taksi konvensional.
"Perusahaan-perusahaan taksi konvensional perlu melihat model bisnis baru, bahkan kemitraan dengan perusahaan taksi online, agar tetap relevan," ungkapnya.
Kemitraan dengan Pesaing
Blue Bird telah bekerja sama dengan Gojek yang memungkinkan armadanya tersedia di aplikasi Gojek. Meskipun kerjasama ini membuka basis pelanggan, di sisi lain ini juga memiliki kelemahan dari sisi margin yang lebih rendah, kata Liew.
Seorang perwakilan untuk Gojek mengatakan perusahaan juga telah memulai proyek percontohan untuk sepeda motor dan mobil listrik di Indonesia. Jika kendaraan tersebut dapat menghemat biaya, hal ini akan membantu pengemudi, katanya dalam e-mail.
Persaingan yang ditimbulkan oleh perusahaan transportasi online dalam bisnis taksi konvensional mendekati titik keseimbangan," kata Noni, menambahkan bahwa beberapa pelanggan dan bahkan pengemudi yang sebelumnya meninggalkan Blue Bird kini telah kembali.
Meskipun saham Blue Bird telah anjlok, sejumlah analis masih optimis terhadap prospek perusahaan. Enam analis yang disurvei Bloomberg memberikan rekomendasi beli untuk saham BIRD.
Analis PT Sinarmas Sekuritas, Richard Suherman, mengatakan saat-saat terburuk bagi saham BIRD tampaknya telah terlewati.
"Transformasi perusahaan, termasuk rencana mereka untuk membangun platform teknologi yang lebih baik dan penetapan harga yang dinamis, akan membantu daya saing dan laba," ungkapnya.