Bisnis.com, JAKARTA – Mayoritas logam dasar tertekan seiring dengan lemahnya data ekonomi China terbaru sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar terkait dengan melambatnya prospek permintaan dari negara importir logam terbesar tersebut.
Berdasarkan data Bloomberg, di bursa LME pada penutupan perdagangan Selasa (16/9/2019), pelemahan dipimpin oleh nikel melemah 2,41 persen di level US$17.370 per ton, diikuti oleh tembaga yang melemah 1,75 persen menjadi US$5.870 per ton.
Kemudian, aluminium melemah 0,94 persen menjadi US$1.793 per ton, seng melemah 0,84 persen menjadi US$2.365 per ton, dan timbal melemah 0,43 persen menjadi US$2.097 per ton. Adapun, timbal dan seng gagal ditutup di zona hijau setelah sempat mencapai level tertinggi setelah penangguhan tambang.
Sementara itu, di bursa SHFE pada perdagangan Rabu (17/9/2019) hingga pukul 10.29 WIB, pelemahan dipimpin oleh nikel yang melemah 2,94 persen menjadi 135.370 yuan per ton, diikuti tembaga yang melemah 0,8 persen menjadi 47.310 yuan per ton, dan aluminium yang turun 0,73 persen menjadi 14.245 yuan per ton.
Output industri China periode Agustus 2019 dirilis tumbuh pada laju terlemah sejak 2002, yaitu hanya naik 4,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Angka tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan prediksi pasar sebesar 5,2 persen.
Perdana Menteri China Li Keqiang mengaku bahwa China tengah kesulitan untuk merealisasikan pertumbuhan output industri pada kisaran 6 persen setelah berhasil menyentuh 6,3 persen pada paruh pertama tahun ini.
Dia menilai industri China tengah diterpa banyak tekanan di antaranya perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan meningkatnya proteksionisme dan unilateralisme.
Direktur Riset Komoditas BMO Capital Colin Hamilton mengatakan bahwa data tersebut jelas lebih lemah daripada yang diharapkan pasar sehingga berpotensi kuat untuk menghacurkan harga logam dasar dunia.
“Harga tembaga telah reli cukup baik selama beberapa minggu terakhir, tetapi ini sedikit mengingatkan bahwa fundamental yang mendasari reli tersebut masih dipertanyakan,” ujar Colin seperti dikutip dari Reuters, Selasa (17/9/2019).
Memperburuk sentimen, data yang lemah tersebut dirilis bersamaan dengan harga minyak yang melonjak tajam akibat serangan di kilang dan fasilitas pemrosesan minyak mentah terbesar dunia sehingga memberikan kekhawatiran bahwa inflasi juga akan terkerek naik.
Adapun, dengan tingkat inflasi yang tinggi dinilai akan semakin sulit bagi bank sentral untuk menggelontorkan stimulus sebagai upaya mendorong pertumbuhan China.
Ekonom Bloomberg Qian Wan mengatakan dalam risetnya bahwa lemahnya data ekonomi China tersebut menjadi bukti bahwa stimulus yang telah dikeluarkan China sejauh ini belum mampu untuk menopang pertumbuhan.
“Kami mengharapkan adanya terus dukungan dari China terhadap pertumbuhan industrinya tetapi tetap berhati-hati untuk tidak menghabiskan amunisi kebijakan mereka untuk mempersiapkan kemungkinanan perang dagang yang berkepanjangan,” tulis Qian Wan seperti dikutip dari risetnya, Selasa (17/9/2019).
Sebagai informasi, negosiasi perdagangan antara AS dan China dijadwalkan akan dimulai pada Kamis (19/9/2019) untuk membuka jalan pertemuan tingkat tinggi pada awal Oktober untuk menyelesaikan sengketa perdagangan kedua negara yang terjadi berlarut-larut sejak tahun lalu.
Selain itu, logam dasar juga tertekan akibat melambatnya pertumbuhan konstruksi China pada awal tahun.
Namun, pemerintah China pada Agustus telah mengumumkan stimulus akan mempermudah persyaratan modal untuk proyek infrastruktur pada semester kedua tahun ini sehingga menjadi harapan dan katalis positif bagi harga logam dasar.
Qian Wan mengatakan, sejak stimulus tersebut, kini China tampak meningkatkan pengeluaran infrastrukturnya pada Agustus yang tercermin dari data banyaknya proyek yang disetujui oleh pemerintah.
“Dukungan ini diperkirakan akan terus berlanjut untuk sisa tahun ini," papar dia.
Sementara itu, di antara logam lain yang bergerak melemah, timah berhasil menjadi satu-satunya logam dasar yang bergerak di zona hijau.
Pada penutupan perdagangan Senin (16/9/2019), harga timah di bursa LME berasa di level US$17.150 per ton menguat 4,1 persen.