Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak kembali terperosok pada perdagangan Senin (15/7/2019) setelah China mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal terlambat dalam 27 tahun terakhir, memperkuat kekhawatiran pasar tentang melemahnya permintaan dari importir minyak mentah terbesar di dunia.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (15/7/2019) hingga pukul 13.22 WIB, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediete (WTI) kontrak Agustus 2019 di bursa Nymex bergerak melemah 0,47% menjadi US$59,93 per barel.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak September 2019 di bursa ICE berada di level US$66,51 per barel, menurun 0,31% atau 0,21 poin.
Padahal, kedua kontrak pada pekan lalu berhasil membukukan kenaikan mingguan terbaik dalam 3 pekan terakhir akibat pemangkasan produksi minyak AS yang dipicu Badai Tropis Barry dan ketegangan diplomatik di Timur Tengah.
Tercatat, sepanjang pekan lalu minyak jenis WTI berhasil naik 4,7%, sedangkan minyak jenis Brent berhasil menguat 3,88%.
Managing Partner Vanguard Markets Bangkok Stephen Innes mengatakan bahwa terungkapnya premi risiko dari Badai Tropis Barry pada pekan lalu dan perkiraan pelemahan permintaan minyak menjadi sentimen yang lebih dominan pada pergerakan minyak kali ini.
Baca Juga
"Kurangnya berita dari ketegangan Timur Tengah yang merupakan wilayah produsen minyak mentah utama, mungkin telah menyebabkan reaksi harga minyak lebih rendah," ujar Stephen Innes seperti dikutip dari Reuters, Senin (15/7/2019).
Pertumbuhan ekonomi China melambat menjadi 6,2% pada kuartal kedua tahun ini, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Angka tersebut dirilis sesuai dengan eskpektasi analis, dengan permintaan impor dan ekspor goyah akibat perang dagang AS dan China.
Namun, Kepala Strategi Pasar CMC Markets Sydney Michael McCarthy mengatakan bahwa output industri dan penjualan ritel China berhasil dirilis lebih baik daripada perkiraan analis.
"Hal tersebut menunjukkan sesungguhnya ekonomi China lebih sehat daripada yang diestimasikan para analis sebelumnya," papar Michael.
Analis PT Monex Investindo Futures Andian mengatakan bahwa minyak mentah berpeluang untuk terus bergerak turun menyusul komentar International Energy Agency (IEA) bahwa masih tingginya peluang permintaan pasar yang menurun terhadap minyak mentah dan olahan akibat perlambatan ekonomi global.
"Pelemahan harga minyak berpotensi ke level support US$59,40 per barel, dengan pelemahan lebih lanjut ke level US$58,20 per barel," papar Andian seperti dikutip dari publikasi risetnya, Senin (15/7/2019).
Sebaliknya, lanjut Andian, bila minyak kembali menguat maka berpotensi ke level resisten US$60,9 per barel dan US$62 per barel. Hal tersebut kemungkinan akan terjadi didukung isu persediaan yang menyusut ataupun kondisi ketegangan di Timur Tengah.
Sementara itu, di Timur Tengah Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa pihaknya siap untuk mengadakan perundingan dengan AS jika Negeri Paman Sam tersebut mencabut sanksinya terhadap Iran dan bersedia kembali ke kesepakatan nuklir 2015 yang telah dihentikan tahun lalu.
Di sisi lain, Inggris telah menawarkan untuk memfasilitasi pelepasan tanker minyak Iran Grace 1 yang ditahan jika Iran memberikan jaminan bahwa pihaknya tidak akan mengirimkan minyak ke Suriah.