Bisnis.com, JAKARTA – Impor kedelai China terjungkal karena perang dagang dengan Amerika Serikat dan wabah demam babi Afrika.
Data Administrasi Umum Kepabeanan China, Senin (10/6/2019) menunjukkan, impor kedelai Negeri Tirai Bambu pada Mei 2019 turun 24%, akibat sengketa dagang Amerika Serikat dan China yang sedang berlangsung, juga karena demam babi Afrika yang mematikan.
Dalam hal ini, China telah mendatangkan 7,36 juta ton kedelai pada Mei. Jumlah itu turun 2,33 juta ton atau 24% dari 9,69 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Angka Mei itu juga berkurang 280.000 ton, jika dibandingkan dengan pencapaian 7,64 juta ton pada bulan sebelumnya.
Dalam 5 bulan pertama 2019, China telah mengimpor 31,75 juta ton kedelai, jumlah tersebut turun 12,2% pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan terjadi karena tarif pengiriman yang lebih tinggi dari AS, pemasok kedelai terbesar kedua China, sehingga menghambat pembelian.
Xie Huilan, analis Cofeed, dalam risetnya mengatakan, impor kedelai lebih rendah karena terbebani oleh tarif yang lebih tinggi untuk pengiriman [kedelai] AS. “Kemudian, permintaan [kedelai] juga lemah karena demam babi Afrika. Pengiriman dari Brasil pun turun banyak,” katanya seperti dikutip dari Reuters, Senin (10/6/2019).
China mengenakan tarif impor 25% untuk kedelai AS pada Juli 2018, sebagai bagian dari perang dagang antar dua raksasa ekonomi terbesar dunia tersebut. Pengenaan tarif itu menghentikan impor biji-bijian AS, hingga kedua negara sepakat untuk melakukan gencatan senjata perdagangan pada 1 Desember tahun lalu. Sejak gencatan tersebut, China telah membeli kedelai sekitar 14 juta ton.
Baca Juga
Namun, Beijing kembali menghentikan pembelian produk agrikultur AS, usai kedua negara kembali terlibat ketegangan perang dagang. Untuk menyiasatinya, China berencana menimbun hingga 7 juta ton kargo AS yang dipesan selama gencatan senjata perdagangan sebelumnya, sebagai persiapan menghadapi perang dagang berkepanjang.
Para pembeli dari China pada tahun lalu membeli kedelai dari Brasil, pemasok utama biji minyak nabati tersebut, di tengah kekhawatiran pengetatan pasokan pada masa depan. Keputusan diambil, setelah Beijing mengancam akan memungut bea impor 25% atas impor kedelai AS, selain bea masuk reguler dan sejumlah biaya lainnya.
Pabrik-pabrik penggilingan kedelai di China masih membukukan lebih banyak kargo dari brasil dan Argentina, menyusul meningkatnya ketagangan perdaganggan China dan AS.
Meski dibayang-bayangi perang dagang, Monica Tu, analis Shanghai JC Intelligence Co. Ltd. menilai, pengiriman kedelai China dalam beberapa bulan mendatang melonjak signifikan dari pencapai Mei. “Bahkan ketika wabah demam babi Afrika memangkas permintaan,”katanya.
China telah melaporkan, terdapat lebih dari 120 wabah penyakit tersebut, di seluruh provinsi dan wilayah, serta pulau Hainan dan Hongkong, sejak pertama kali terdeteksi pada awal Agustus tahun lalu.
Pertama kali ditemukan di Afrika pada 1900-an, flu babi Afrika sudah membunuh sebagian besar babi yang terinfeksi dalam 10 hari.
Sebagai informasi selain mengimpor kedelai untuk minyak goreng, China juga memanfaatkan produk agrikultur tersebut untuk pakan babi.
Rabobank melaporkan, penyakit tersebut dapat mengurangi produksi daging babi China sekitar 30% pada tahun ini.
Sementara itu, mengutip Bloomberg, harga kedelai kontrak pengiriman Juli di Chicago Board of Trade ditutup melemah 1,13% atau 4,75 poin di posisi US$417,75 per gantang, Jumat (7/6/2019). Pelemahan terjadi di tengah tensi perang dagang yang meningkat dan kondisi cuaca di negara produsen, AS.
Harga kedelai sempat menghijau selama 3 pekan, karena badai hujan melanda Midwest AS. Hal itu mengakibatkan keterlambatan pembibitan kedelai. Akan tetapi, kondisi cuaca mulai membaik pada awal pekan ini, dengan cuaca kering yang membuat para petani untuk mempercepat penanaman kedelai.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran produksi kedelai akan berlimpah, dan mengendap karena tak dapat dikirim ke China. Walhasil hal ini mengancam harga kedelai.