Bisnis.com, JAKARTA – Reli penguatan dolar AS dinilai akan semakin mendekati akhir seiring dengan memuncaknya tekanan untuk Presiden AS Donald Trump agar dapat mencapai kesepakatan perdagangan dengan China.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (29/5/2019) hingga pukul 01.08 WIB, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor bergerak menguat 0,31% menjadi 97,912.
Indeks dolar AS telah bergerak menguat 1,79 persen secara year to date dengan level tertinggi mencapai 98,371 pada perdagangan Kamis (23/5).
Mengutip riset Brandywine Global Investment Management LLC, Donald Trump akan dipaksa untuk berdamai dengan China untuk melindungi kepentingan konsumen AS sehingga akan memendekkan laju greenback.
Perusahaan manajer keuangan tersebut merekomendasikan untuk mulai berada di posisi buy pada aset yang telah mengalami penurunan sejak eskalasi perang dagang, termasuk dolar Australia.
Manajer Uang Brandywine Global Richard Lawrence mengatakan bahwa kenaikan tarif impor tersebut pada dasarnya adalah pajak pada konsumen AS sehingga akhirnya Trump akan termotivasi untuk melakukan kesepakatan dengan China.
“Semua pilar yang mendukung dolar AS untuk bergerak naik tampaknya telah terkikis atau sudah hilang,” ujar Richard seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (28/5).
Indeks harga konsumen AS atau Consumer Price Index (CPI) untuk periode April 2019 mencatatkan kenaikan 2% secara year on year dan naik 1,9% secara month to month.
Namun, proyeksi Brandywine Global bertentangan dengan mayoritas konsensus pasar yang berkembang bahwa perang dagang masih akan terus memanas seiring dengan Trump yang kembali mengancam akan menaikkan tarif untuk barang China lainnya.
Akibat eskalasi perang dagang yang tidak kunjung reda tersebut, imbal hasil Treasury AS telah jatuh ke level terendah sejak 2017 pada pekan lalu.
Hal tersebut mendorong Goldman Sachs Asset management menjadi lebih berhati-hati di pasar negara berkembang di tengah maraknya pelarian investor ke aset yang lebih aman.
Adapun, dolar AS telah naik ke level tertingginya pada tahun ini setelah AS memberlakukan kenaikan tarif dan memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam ekspor AS.
China pun mengatakan akan membalas ancaman Trump sehingga mendorong bank-bank Wall Street, termasuk JPMorgan, untuk menilai kembali kemungkinan kesepakatan perdagangan.
Selain itu, saat kunjungannya ke Tokyo Senin (27/5), Trumo mengatakan tidak siap untuk membuat kesepakatan perdagangan dengan China dan tarif impor dapat dinaikkan dengan jumlah yang lebih besar kapan saja.
Di sisi lain, Brandywine Global menyukai obligasi dari pasar negara berkembang dengan hasil lebih tinggi seperti Indonesia, Brasil, Afrika Selatan, Malaysia, Meksiko, dan Kolombia.
Perusahaan manager keuangan tersebut menilai pasar tersebut underweight dengan hasil riil rendah atau negatif seperti Jepang.
Kemudian, Richard memproyeksi dolar Australia siap untuk bergerak naik 70 sen hingga 75 sen hingga tahun depan karena telah mengalami undervalued dan akan mendapatkan dukungan dari permintaan komoditas China.