Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Sentral di Asia Berbondong-bondong Selamatkan Mata Uang

Mayoritas bank sentral di kawasan Asia sedang berupaya menyelamatkan mata uang negara masing-masing dari tren penurunan seiring dengan meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China yang membebani ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
Karyawan menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Senin (1/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Senin (1/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Mayoritas bank sentral di kawasan Asia sedang berupaya menyelamatkan mata uang negara masing-masing dari tren penurunan seiring dengan meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China yang membebani ekspor dan pertumbuhan ekonomi.

Bank sentral China, Korea Selatan, dan Indonesia adalah beberapa di antara bank sentral di Asia yang telah mengambil langkah untuk keluar dari tren pelemahan yang terjadi di sebagian besar mata uang utama di Asia bulan ini. Adapun, yen, sebagai mata uang aset investasi aman, menjadi pengecualian dari tren pelemahan mata uang di Asia.

Ahli Strategi Pasar Kiwoom Securities Seoul Kim Yumi mengatakan bahwa otoritas China berusaha membatasi pelemahan yuan karena mengetahui betul kerugian yang disebabkan oleh arus dana yang keluar akan lebih besar daripada keuntungan yang didapat dari perdagangan ketika mata uang melemah.

"Ini juga berlaku untuk bank sentral Asia lainnya, terutama pada saat tingkat ketidakpastian di pasar meningkat," ujar Kim Yumi seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (23/5/2019).

Bank Rakyat China atau People's Bank of China (PBOC) telah menetapkan tingkat referensi yuan di level yang lebih tinggi selama 3 hari berturut-turut. Tingkat referensi yang lebih tinggi tersebut membatasi pergerakan yuan onshore sebesar 2% di kedua sisi sehingga membantu menghentikan rekor penurunan yuan.

Kemudian, PBOC juga menjual Treasury Bills di Hong Kong sebagai langkah untuk menjaga likuiditas yuan offshore sehingga membuatnya lebih mahal. Pejabat pemerintah dan media lokal Negeri Panda tersebut pun telah berulang kali meyakinkan investor bahwa yuan akan tetap stabil. Adapun, yuan offshore telah melemah 3% pada bulan ini, mendekati level 7 yuan per dolar AS, level psikologis yang belum tersentuh dalam lebih dari satu dekade.

Pada perdagangan Kamis (23/5/2019) hingga pukul 13.35 WIB, yuan offshore di pasar spot bergerak melemah 0,058% menjadi 6,9381 yuan per dolar AS.

Berbeda dengan China, pemerintah Korea Selatan belum lama ini baru saja mengadakan pertemuan singkat untuk membahas distorsi di pasar mata uang dan berencana mengambil langkah tegas untuk mengatasi penurunan won bulan ini. Mata uang Negeri Ginseng tersebut telah jatuh terlalu cepat dalam waktu singkat dan pelemahannya dinilai berlebihan dibandingkan dengan fundamentalnya.

Mengutip Bloomberg, seorang pejabat kementerian keuangan Korea Selatan mengatakan bahwa pihak berwenang akan segera bertemu untuk membahas distorsi tersebut. Adapun, won adalah mata uang dengan kinerja terburuk di Asia sepanjang tahun berjalan ini, yaitu telah terdepresiasi 6,58% melawan dolar AS.

Selain itu, won telah bergerak melemah 3,99% dalam satu bulan terakhir. Hal tersebut dikarenakan penurunan tajam dalam ekspor chip di tengah eskalasi perang dagang yang telah merusak prospek ekonomi Korea. Pada perdagangan Kamis (23/5/2019) hingga pukul 13.29 WIB, won menguat 0,36% menjadi 1.189,29 won per dolar AS.

Di sisi lain, Bank Indonesia yang telah melakukan intervensi di pasar baru-baru ini dengan menerbitkan aturan baru untuk mendorong suplai di pasar DNDF. BI juga mengatakan akan berkoordinasi dengan bank dan lembaga lain untuk menjaga stabilitas rupiah dan kepercayaan pasar ketika kerusuhan akibat hasil pilpres 2019 mengguncang Jakarta.

Rupiah turun 0,3% pada Rabu (22/5) ke level terendah dalam lima bulan terakhir menjadi Rp14.528 di tengah kerusuhan tersebut. Rupiah sepanjang tahun berjalan telah melemah 0,49% dan melemah 2,64% melawan dolar AS dalam perdagangan satu bulan terakhir.

Sementara itu, ketegangan perang dagang antara AS dan China terus meningkat sehingga kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut pun tampak semakin jauh untuk menghasilkan kesepakatan. Perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump mempertimbangkan untuk memutus aliran pasokan teknologi vital AS ke sebanyak 5 perusahaan China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper