Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang garuda kembali dibuka melemah melawan dolar AS pada perdagangan Rabu (24/4/2019) didorong oleh data perumahan AS yang meningkat sehingga meredakan kekhawatiran pasar tentang perlambatan dari negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (24/4/2019), rupiah dibuka melemah 0,08% menjadi RP14.091 per dolar AS. Pada penutupan perdagangan sebelumnya, Selasa (23/4/2019), rupiah melanjutkan pelemahannya selama 2 hari berturut-turut dengan ditutup terdepresiasi 2 poin menjadi Rp14.080 per dolar AS, masih digerus oleh menguatnya indeks dolar AS.
General Manager Gaitame Research Takuya Kanda mengatakan bahwa ekonomi zona Eropa yang tampak melemah dibandingkan dengan ekonomi AS mengakibatkan adanya kecenderungan aksi jual euro yang membantu menguatkan dolar AS di hadapan beberapa mata uang lainnya.
“AS saat ini diharapkan akan mengalami pertumbuhan yang baik pada kuartal pertama tahun ini sehingga memberi kekuatan bagi dolar AS di hadapan mata uang lainnya, terutama euro,” ujar Takuya seperti dikutip dari Reuters, Rabu (24/4/2019).
Pertumbuhan PDB AS untuk kuartal I/2019 yang akan dirilis akhir pekan ini, Jumat (26/4/2019), dapat memberikan sinyal bahwa ekonomi dalam negeri paman sam tersebut tetap kokoh dibandingkan dengan negara ekonomi lainnya.
Adapun, data penjualan rumah AS Maret 2019 berhasil naik 4,5% menjadi 692.000 unit dibandingkan dengan Februari 2019, level tertinggi sejak November 2017. Angka tersebut lebih tinggi daripada ekspetasi pasar, yaitu hanya naik 2,5% menjadi 650.000 unit pada Maret 2019.
Kenaikan tersebut didorong oleh bunga pinjaman perumahan dan harga rumah yang relatif murah. Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan 6 mata uang lainnya bergerak menguat 0,02% menjadi 97,655.
Di sisi lain, rupiah telah mendapat tekanan sepanjang pekan ini, mungkin dikarenakan oleh spekulasi bahwa Bank Indonesia akan memulai siklus pelonggaran suku bunga baru pada akhir tahun ini.
Namun, banyak analis percaya bahwa bahkan setelah penurunan suku bunga, obligasi pemerintah Indonesia akan menawarkan pengembalian yang menarik secara riil dibandingkan dengan mitra mereka di AS. Akibatnya, pergerakan downside dalam rupiah bisa terbatas.