Bisnis.com, JAKARTA -- Saham Asia naik tipis ke level tertinggi selama tujuh bulan pada Senin (8/4), dimana para investor menyambut rebound di Amerika Serikat dan sinyal stimulus tambahan dari pemerintah China.
Meski demikian, masih ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dengan kemungkinan data pendapatan Amerika Serikat akan mengalami sedikit tekanan.
Dalam sebuah dokumen yang diterbitkan di web pemerintah pusat pada Minggu (7/4), Beijing menyampaikan bahwa mereka akan menambah pemotongan untuk giro wajib umum perbankan guna mendorong pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah.
Saham blue chips China naik 1,4% ke level yang tidak terjangkau sejak Maret lalu. Di samping itu, indeks MSCI dari saham Asia Pasifik, kecuali Jepang, menyusul dengan pertumbuhan 0,4% ke level tertinggi sejak Agustus 2018.
Nikkei Jepang tercatat merangkak ke level tertinggi tahun ini dan naik 0,1%. Sementara itu, indeks berjangka S&P 500 E-mini mengalami pergerakan tipis.
Di Wall Street, benchmark S&P 500 ditutup lebih tinggi untuk hari perdagangan ke tujuh berturut-turut pekan lalu, ini merupakan kenaikan beruntun terpanjang sejak Oktober 2017.
Perbankan di Amerika Serikat tengah menanti tantangan baru dari perkiraan kontraksi pendapatan perusahaan pada kuartal I/2019. JPMorgan Chase & Co dan Wells Fargo & Co akan merilis laporan mereka pada Jumat (12/4).
Dalam perkembangan terbaru, risalah pertemuan FOMC akan dirilis pada Rabu (10/4), waktu Washington.
Para analis di TD Securities menyampaikan melalui catatan bahwa pasar akan mencermati seberapa jauh sikap dovish The Fed akan berlangsung.
"Kami menempatkan peluang yang sangat rendah tapi tidak sampai nol terkait diksusi penurunan suku bunga. Sebaliknya kenaikan suku bunga masih menjadi opsi bagi sebagian besar pejabat The Fed," tulis tim TD Securities, bank investasi yang berbasis di Kanada, seperti dikutip melalui Reuters, Senin (8/4).
PERBAIKAN DATA AS
Ekonomi global dapat bernafas lega menyusul laporan ketenagakerjaan AS yang menunjukkan kenaikan 196.000 pekerja baru pada Maret. Sementara itu, pertumbuhan upah tahunan melambat sedikit menjadi 3,2%.
"Data ini meredakan kekhawatiran global dari berbagai sisi," kata Alan Ruskin, kepala global Strategi G10 FX di Deutsche Bank.
"Kekhawatiran dari pelemahan ekonomi sudah mulai berkurang. Sisi positifnya, data pertumbuhan upah tidak menunjukkan percepatan lebih lanjut yang dapat mengancam inflasi," ujarnya.
Ruskin berpendapat bahwa ekonomi AS tetap kuat namun tidak kemudian membenarkan adanya kebutuhan untuk memangkas suku bunga acuan selama enam bulan mendatang.
Dolar AS tercatat flat di level 97,329 terhadap beberapa mata uang lainnya pada Senin (8/4), namun tetap berada pada ambang tertinggi Maret yakni 97,710 yang menandai resistensi grafik utama.
Di sisi lain, nilai tukar Euro, tertahan di US$1,1218, terganggu oleh serangkaian data indikator ekonomi yang tidak terlalu bagus.
Poundsterling juga memilik isu sendiri akibat perpanjangan Brexit dan bertahan di level US$1,3046.
Dengan tenggat waktu sementara pada 12 April, Perdana Menteri Inggris Theresa May sudah harus mampu mengajukan kesepakatan batu untuk menjamin penundaan Brexit pada KTT pemimpin Uni Eropa, Rabu mendatang.
Sementara itu di pasar komoditas, emas spot sedikit menguat pada level US$1,296 per ons.
Adapun, pekan ini harga minyak naik ke level tertinggi sejak November 2018, didorong oleh pengurangan pasokan OPEC yang sedang berlangsung dan sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.
Minyak mentah AS terakhir naik 38 sen menjadi US$63,46 per barel, sementara minyak mentah Brent berjangka naik 39 sen menjadi US$70,73.