Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja indeks IDX Small-Medium Cap (SMC) Composite dan IDX SMC Liquid sepanjang awal tahun ini berhasil mengungguli kinerja IHSG serta indeks-indeks utama lain, seiring tingginya animo investor memburu saham-saham lapis kedua dan ketiga di awal tahun ini.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, indeks IDX SMC Composite sepanjang tahun ini hingga akhir pekan lalu tercatat tumbuh 8,46% ytd, sedangkan indeks IDX SMC Liquid yang terdiri atas 51 saham pilihan dari IDX SMC Composite tumbuh lebih tinggi, yakni 9,19% ytd.
Pada saat yang sama, indeks-indeks utama lain di Bursa Efek Indonesia hanya tumbuh terbatas. IHSG hanya tumbuh 3,04% ytd, LQ45 hanya 1,25% ytd, IDX30 hanya 1,09% ytd, dan IDX80 hanya 0,90% ytd.
Thendra Crisnanda, Kepala Riset Institusional MNC Sekuritas, mengatakan bahwa kenaikan harga saham-saham SMC terjadi setelah pasar mulai jenuh terhadap penguatan sejak kuartal akhir 2018 yang dipimpin saham-saham big cap.
IHSG meningkat hingga mendekati 15% dari posisi 5.709 pada akhir Oktober 2018 hingga 6.548 pada awal Februari 2019. IHSG kini cenderung bergerak konsolidatif dan melemah dari posisi tertingginya tahun ini.
Secara umum, investor memang cenderung memilih saham SMC ketika kondisi pasar secara keseluruhan sedang jenuh atau overbought dan minim katalis. Pada awal tahun ini, kondisi tersebut didukung pula oleh adanya isu merger dan akuisisi beberapa emiten.
Faktor pendorong lainnya yakni realisasi kinerja laba emiten-emiten big cap sepanjang 2018 yang tidak lebih tinggi dibandingkan ekspektasi analis, sedangkan laba (EPS) saham-saham SMC justru mengungguli rata-rata pertumbuhan EPS IHSG yang hanya sekitar 9% yoy pada 2018.
Sebagai contoh, beberapa emiten SMC dengan kinerja laba unggul sepanjang 2018 yakni ANTM dengan pertumbuhan laba 541%, HITS sebesar 72%, WTON sebesar 44,27%, dan WSBP sebesar 10,31%.
Kondisi ini menyebabkan valuasi saham-saham SMC terlihat murah di awal tahun ini dan masih tertinggal dibandingkan pergerakan saham-saham big cap yang lebih dahulu naik. Namun, setelah kenaikan harga saham-saham SMC di awal tahun ini, pilihannya menjadi makin terbatas.
“Secara selektif masih terdapat peluang bagi SMC, tetapi mulai terbatas pilihan sahamnya. Untuk saham SMC yang telah naik signifikan dan lebih cenderung didorong oleh isu dan rumor, ada bijaknya untuk profit taking, khususnya di sektor telekomunikasi,” katanya, Senin (11/3/2019).
Thendra mengatakan, umumnya SMC memiliki tingkat risiko lebih besar dibandingkan big cap. Namun, risiko dapat dihindari asalkan investor memilih emiten dengan fundamental positif, dengan valuasi murah dan prospek pertumbuhan laba yang baik.
MNC Sekuritas merekomendasikan beberapa saham SMC, yakni ARNA, BIRD, GMFI, JPFA, WSBP, SIDO, dan HOKI hingga akhir semester pertama 2019.
“Kami cenderung memilih SMC untuk periode hingga pertengahan tahun 2019. Meskipun demikian, kami menilai terdapat potensi untuk kembali mengoleksi saham-saham bluechip di semester kedua 2019 karena terdapat potensi sell on news setelah pilpres 2019,” katanya.
Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas, mengatakan bahwa SMC cenderung outperform terhadap IHSG di awal tahun ini karena valuasinya masih sangat rendah. Price to book value (PBV) SMC rata-rata masih di kisaran 1 – 1,5 kali, sedangkan big cap sudah lebih dari 2 kali dan inline dengan PBV IHSG.
Janson mengatakan, selama fundamentalnya bagus, emiten dengan PBV rendah berpotensi untuk membukukan kinerja outperform terhadap pasar.
“Kalau big cap koreksi lagi, di mana PBV-nya bisa lebih rendah dari 2 kali, big cap akan catching up. Namun, secara umum, small cap tahun ini akan tendensi outperform karena sepertinya gap di valuasi masih agak tinggi,” katanya.
Janson memfavoritkan saham TSPC sebab lebih murah dibandingkan KLBF, lalu BBTN sebagai bank BUMN dengan PBV terendah, serta INDY dengan PBV rendah tetapi tren return on equity membaik. Janson menyarankan strategi kombinasi big cap dan SMC, khususnya big cap dengan PBV rendah seperti UNTR (PBV 1,6x) dan BMRI (PBV 1,8x).
William Surya Wijaya, Vice President Research Indosurya Bersinar Sekuritas, mengatakan bahwa tren kinerja saham SMC yang outperform terhadap IHSG kemungkinan hanya bersifat jangka pendek. Kinerja pasar yang baru berjalan kurang dari satu kuartal belum dapat dijadikan patokan sebagai tren yang akan bertahan hingga akhir tahun.
Pasar juga belum bisa terlalu dini menilai keuntungan investasi dari kenaikan harga saham-saham SMC. Pasalnya, bila saham-saham tersebut tidak likuid, kenaikan harga yang terjadi tidak dapat direalisasikan sebagai keuntungan yang riil oleh investor.
Oleh karena itu, menurutnya pada dasarnya investor sebaiknya tetap berkonsentrasi pada emiten-emtien yang memiliki likuiditas yang bagus dan fundamental yang kuat. Saham-saham berkapitalisasi pasar menjadi lebih difavoritkan sebab cenderung lebih likuid pula.
“Ini masih awal tahun, kondisi pasar masih akan bergeser dengan sendirinya. Investor bisa saja mengamankan profit, merealisasikan sebagian keuntungan, tetapi pasar sebaiknya cari yang likuid,” katanya.