Bisnis.com, JAKARTA—Bursa Efek Indonesia tengah mempersiapkan sistem baru untuk menjadi penyelenggara pasar alternatif bagi efek bersifat utang dan sukuk (EBUS), setelah OJK menerbitkan peraturan tentang penyelenggara pasar alternatif pada Februari 2019 lalu.
OJK dalam POJK Nomor 8/POJK.04/2019 tentang Penyelenggara Pasar Alternatif (PPA) membuka kesempatan bagi berbagai pihak untuk menjadi PPA, asalkan berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan memenuhi persyaratan-persyaratan lain yang ditetapkan OJK dalam POJK itu.
Laksono Widodo, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Bursa Efek Indonesia, mengatakan bahwa bursa berharap dapat menjadi salah satu penyedia pasar alternatif bagi EBUS. Pasar alternatif ini merupakan pasar yang berbeda dari pasar regular, tunai dan negosiasi yang ada di bursa saat ini.
Selama ini BEI sudah menjalankan fungsi sebagai penyedia pasar utama bagi transaksi efek sesuai undang-undang pasar modal. Setelah adanya POJK baru ini, BEI akan mengajukan permohonan izin baru untuk bisa menyelenggarakan pula pasar alternatif, khusus untuk instrumen EBUS.
Selama ini, transaksi EBUS dilakukan di luar bursa melalui mekanisme over the counter (OTC). Hal ini menyebabkan mekanisme transaksi EBUS bersifat sangat tertutup, tidak transparan, dan kurang teregulasi.
“Kita berharap bisa penuhi juga syarat OJK. Sekarang platform sedang kami siapkan juga. Ada aturan turunan bursa juga untuk ini,” katanya pekan lalu.
Laksono mengatakan, adanya POJK ini memberikan dasar hukum yang lebih valid bagi transaksi EBUS yang lebih teratur di pasar sekunder di masa mendatang. POJK ini juga menjadi landasan bagi persiapan pembentukan electronic trading platform (ETP) baru bagi obligasi dan sukuk.
Menurutnya, produk lain yang kemungkinan juga akan bisa ditransaksikan melalui PPA nantinya adalah instrumen turunan atau derivatif dari EBUS, seperti Indonesia Government Bond Future (IGBF) yang juga tengah dipersiapkan modelnya untuk tahap kedua.
Fithri Hadi, Direktur Direktur Teknologi Informasi dan Manajemen Risiko Bursa Efek Indonesia, mengatakan bahwa hadirnya PPA akan sekaligus menjadi lini bisnis baru bagi Bursa Efek Indonesia. Namun, tentu untuk menjalankan itu, BEI juga perlu investasi infrastruktur teknologi informasi.
Fithri mengatakan, inisiatif bursa untuk segera bergerak menyediakan diri sebagai PPA setelah POJK tersebut terbit merupakan tindak lanjut dari mandat Kementerian Keuangan yang menginginkan adanya pasar sekunder yang lebih tertata bagi obligasi negara.
“Mereka [Kementerian Keuangan] mencari pasar sekunder yang bisa diajak untuk bekerja sama. Selama ini kan pasar obligasi negara sifatnya OTC, unregulated market. Pemerintah tidak bisa memonitor perputarannya di pasar sekunder. Kita hanya ada data pasar primer. Ini arahnya menjadi regulated market,” katanya.
Fithri mengatakan, implementasi transaksi EBUS di pasar sekunder melalui sistem PPA tentu harus bisa memberikan solusi yang sama-sama menguntungkan untuk semua pihak.
Bukan tanpa alasan pasar EBUS selama ini lebih banyak terjadi secara OTC, sebab pelaku pasar lebih menyukai sistem OTC dan dianggap lebih cocok dengan karakter pasar obligasi.
Menurutnya, BEI atau pemerintah bisa saja nantinya memberikan insentif bagi transaksi EBUS yang dilakukan melalui PPA untuk menarik minat pelaku pasar menggunakan PPA. Namun, dirinya belum bisa memastikan jenis insentif seperti apa yang bisa ditawarkan.
Berbeda dibandingkan pasar saham yang mana BEI menjadi penyelenggara tunggal, PPA akan diselenggarakan oleh siapa saja yang memperoleh izin untuk menjadi PPA. Oleh karena itu, menurutnya OJK akan bertindak sebagai penengah antara berbagai PPA yang ada.