Bisnis.com, JAKARTA--Bank Indonesia melihat negosiasi perang dagang dan Brexit akan menjadi risiko potensial yang akan membayangi pergerakan rupiah pada kuartal pertama tahun ini.
Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump selalu mengatakan bahwa negosiasi dengan China berjalan baik. Namun, dia tidak sama sekali membenarkan adanya keputusan untuk mencabut bea impor yang sudah dikenakan kepada China sebelumnya.
Sementara itu, ketidakjelasan Brexit masih berlanjut seiring munculnya desakan untuk melakukan referendum ulang.
Kepala Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menuturkan masalah perlambatan global dan partial shutdown yang dilakukan AS juga menjadi perhatian bank sentral.
"Namun, di sisi lain, hal tersebut akan membantu Indonesia karena membuat the Fed menjadi lebih dovish," papar Nanang, Senin (21/01).
Arah kebijakan the Fed yang lebih dovish memicu pergerakan arus dana ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Inflows atau arus modal asing yang kembali masuk ke pasar aset keuangan di dalam negeri ini akan membantu menstabilkan nilai tukar rupiah.
Dari data BI, aliran modal asing terus berlanjut sejak akhir tahun lalu hingga Januari 2019.
Dari awal tahun hingga 17 Januari 2019, total inflows mencapai Rp14,75 triliun. Adapun rinciannya, modal yang masuk ke pasar SBN sebesar Rp11,48 triliun dan ke pasar saham Rp3,21 triliun.
Kondisi ini sangat mempengaruhi pergerakan rupiah. Menurut Nanang, BI tidak lagi seagresif tahun lalu dalam melakukan intervensi di pasar spot dalam rangka menstabilkan rupiah.
Sekalipun BI masuk ke pasar spot, Nanang mengatakan langkah ini hanya untuk memperhalus (smoothing) volatilitas dan semuanya dilakukan dalam jumlah yang kecil serta terukur.
"Kami lebih fokus untuk memperbesar market liquidity di pasar DNDF," tegas Nanang.