Bisnis.com, JAKARTA — PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat penerbitan surat utang korporasi di Indonesia masih didominasi oleh tenor pendek di bawah 5 tahun, mencapai 77,18% dari total outstanding per Juni 2018.
Perinciannya, sebanyak 48,11% dari total outstanding adalah obligasi bertenor 1-3 tahun dan 29,07% bertenor di atas 3 tahun sampai 5 tahun.
Sementara itu, surat utang bertenor di atas 5 tahun hingga 10 tahun mencakup 20,28% dari total outstanding dan tenor panjang di atas 10 tahun hanya 2,55%.
Kondisi ini jauh berbeda dari negara lain, misalnya Malaysia, yang komposisi tenor 1-3 tahun dan di atas 3 tahun sampai 5 tahun masing-masing hanya 15,54% dan 19,81%. Di Negeri Jiran, instrumen surat utang korporasi terbanyak ada pada tenor di atas 5 tahun hingga 10 tahun dengan porsi 33,77% dan di atas 10 tahun sebesar 31,29%.
Adapun Singapura memiliki komposisi yang relatif merata. Obligasi tenor 1-3 tahun mencakup 26,68%, sedangkan di atas 3 tahun sampai 5 tahun sebesar 20,51%.
Kemudian, tenor di atas 5 tahun hingga 10 tahun sebanyak 25,67%, sedangkan di atas 10 tahun mencapai 27,14%.
Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra mengatakan ada missing link atau kepentingan yang tidak saling bertemu dalam pasar surat utang korporasi di Indonesia.
Menurutnya, dalam beberapa pembicaraan dengan investor pasar surat utang korporasi, ada keluhan bahwa minimnya pasokan instrumen surat utang korporasi tenor panjang menyebabkan mereka tidak bisa masuk ke instrumen tersebut. Padahal, kalangan investor ini mengaku membutuhkan instrumen tenor panjang untuk portofolionya.
Namun, di sisi lain, dalam pembicaraannya dengan kalangan emiten atau korporasi penerbit surat utang, mereka justru beralasan tidak menerbitkan instrumen tenor panjang karean tidak ada permintaan di pasar.
Salyadi mengungkapkan fenomena ini memang cukup mengherankan di dalam negeri. Pasalnya, peminat instrumen Surat Utang Negara (SUN) dengan tenor sangat panjang mencapai 30 tahun pun cukup tinggi.
“Horizon investasi investor kita sebenarnya cukup panjang juga. Kebutuhan untuk investasi ada. Hanya, mungkin terbatasnya emisi surat utang jangka pendek harus dilihat kasus per kasus,” terangnya, Kamis (27/12/2018).
Salyadi menilai alasan emiten tidak menerbitkan instrumen yang terlalu panjang adalah karena kekhawatiran terhadap risiko fluktuasi suku bunga. Apalagi, saat ini tren suku bunga terus meningkat, sehingga emiten akan cenderung menerbitkan instrumen tenor pendek.
Alasannya, emiten berekspektasi tren suku bunga akan kembali turun dalam jangka pendek, sehingga mereka dapat melakukan refinancing atas utang tersebut dengan bunga yang lebih murah di masa mendatang. Bila instrumen ini dikunci dengan tenor yang terlalu panjang, mereka harus menanggung biaya dana yang mahal untuk waktu yang lebih panjang.