Bisnis.com, JAKARTA – Harga kakao di bursa Intercontinental Exchange melonjak karena pasar kakao diperkirakan akan mengalami defisit pasokan hingga 100.000 ton pada musim depan.
“Penyusutan pasokan pada musim panen 2018 – 2019 hanya akan memberikan sedikit dampak bagi pasokan yang sudah surplus 40.000 ton pada musim panen yang berakhir pada September mendatang,” kata Carlos Mera, analis Rabobank, dilansir dari Bloomberg, Kamis (23/8).
Cuaca dalam beberapa bulan terakhir cukup baik untuk pertumbuhan kakao di Afrika Barat dan Pantai Gading yang diperkirakan akan kembali mendapat hasil panen dalam jumlah besar.
Baca Juga
Namun, ada risiko pada akhir tahun dan kuartal I/2019 yang melanda karena diperkirakan sektor pertanian kakao di kedua wilayah itu akan terkena kekeringan yang dibawa oleh El-Nino dan angin Harmattan.
Pada perdagangan Kamis (23/8) harga kakao di Intercontinental Exchange (ICE) tercatat melonjak 54 poin atau 2,39% menjadi US$2.313 per ton, dan secara year-to-date harganya mengalami kenaikan hingga 22,09%.
Dukungan dari petani yang semakin menurun, dan dari Pemerintah Ghana yang berencana aan menghentikan subsidi bagi petani akan membuat harga yang harus dibayar produsen semakin rendah, dan akan menambah dampak pada risiko cuaca mendatang sehingga membuka kemngkinan volatilitas pada harga kakao.
Rabobank memproyeksikan harga kakao berjangka di ICE akan berada pada kisaran US$2.300-an per ton pada kuarta III/2018 – kuartal IV/2018.
Dari Ukraina, impor kakao dan produk kakaonya tercatat mengalami kenaikan hingga 47,5% menjadi senilai US$16,9 juta. Adapun, ekspornya naik 64,1% menjadi US$3,4 juta pada Juli.
Pelayanan Fiskal Negara Ukraina melaporkan pada Juli 2018, impor kakao dan produk di Ukraina naik US$5,44 juta menjadi US$16,89 juta, dan ekspornya naik sebanyak US$1,33 juta menjadi US$3,40 juta dalamn setahun terakhir.
Pengekspor utama kakao murni dan olahan dari Ukraina adalah Ghana yang melakukan pengiriman senilai US$4,70 juta. Dalam tujuh bulan pertama 2018, mpor kakao dan produknya naik 33,5% atau senilai US$23,31 juta menjadi US$92,95 juta dolar.
Sementara itu ekspornya tercatat naik 34,5% atau sekitar US$5,37 juta dolar AS menjad US$20,55 juta dolar dari periode yang sama tahun 2017.
Dalam laporan Pelayanan Fiskal Negara Ukraina, menyebutkan bahwa pada Juni 2018, impor kakao dan produknya naik 29,1% atau sekitar US$2,40 juta menjadi US$10,68 juta. Adapun, ekspornya naik melambung 19,1% atau US$404.000 menjadi US$2,52 juta dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada 2017, Ukraina mengimpor kakao dan produk kakao dengan jumlah total sebesar US$143,94 juta dan mengekspor dengan nilai sebesar US$31,75 juta dolar dalam setahun.
Komoditas pertanian di ICE lainnya, seperti kopi Arabika untuk pengiriman teraktif Desember mengalami penurunan harga 0,15 poin atau 0,15% menjadi US$100,75 sen per pon dan tercatat turun 23,73% selama tahun berjalan.
Pelemahan harga tersebut melanjutkan penurunan 0,9% pada perdagangan sesi sebelumnya di posisi US$100,90 sen per pon. Pada sesi yang sama, harga kopi Arabika ICE sempat mencapai US$99,35 sen per pon, terendah sejak Agustus 2006.
“Sebagian besar karena spekulasi. Kami mendapat tekanan terbanyak dari pelemahan mata uang. Seperti kinerja mata uang real, pelemahannya merugikan segala sektor,” ungkap Diego Guadalupe, Wakil Presiden Societe Generale.
Guadalupe menuturkan salah satu faktor yang bisa menghentikan tren penurunan harga saat ini adalah kemajuan lingkungan makro, atau cuaca buruk yang kemungkinan melanda wilayah pemasok utama.
Para trader saat ini menggeser fokusnya pada hasil panen kopi Arabika di Brasil tahun depan, yang mulai berkembang dan akan membutuhkan banyak pengairan dalam dua bulan kedepan agar tanamannya bisa tumbuh semakin besar sehingga bisa mulai memperkirakan hasil panen tahun depan.