Bisnis.com, JAKARTA — Pasar aluminium masih tertekan oleh sanksi yang diberikan Amerika Serikat kepada perusahaan produsen aluminium terbesar di dunia United Co. Rusal.
Rusal merupakan salah satu produsen utama logam setengah jadi, tetapi sejumlah manufaktur menarik diri dari ketergantungan terhadap perusahaan asal Rusia itu. Namun, upaya manufaktur beralih dari Rusal tidak terlaksana dengan mudah.
Analis Pasar Aluminium di CRU Group Henry Van mengatakan, harga komoditas logam dasar di London Metal Exchange sebagian besar sudah kembali normal, tetapi aluminium setengah jadi, dari jenis billet, lempengan, hingga kawat, masih tinggi.
“Para pembeli logam itu sudah lebih siap apabila pemberlakuan sanksi kembali terjadi,” katanya, dikutip dari Bloomberg, Kamis (26/7/2018).
Sementara itu, Rusal memproduksi barang setengah jadi, produk aluminium yang paling sulit dan minim produsen karena memakan biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan aluminium ingot (olahan).
Produk tersebut biasanya dijual dalam kontrak jangka panjang sehingga membuat perpindahan pemesanan oleh manufaktur semakin sulit dilakukan.
Baca Juga
Sebelum terkena sanksi, Rusal mendapat pesanan dalam jumlah besar dari Korea Selatan untuk dimanfaatkan pada produksi onderdil mobil, tetapi para pelanggan dari Negeri Ginseng kemudian melepaskan pembelian karena ketidakpastian pasokan.
Aluminium premium, yang mewakili seluruh harga logam, mengalami lonjakan harga setelah AS menjatuhkan sanksi ke Rusal pda 6 April lalu. AS kemudian melunakkan posisinya, membuat harga logam aluminium ingot kembali merosot.
Namun, kemerosotan harga tersebut tidak dialami oleh produk aluminium setengah jadi. Harga produk logam tersebut tetap mahal meski AS sudah melepaskan sanksinya terhadap Rusal.
Rusal menghentikan produksi logam bernilai tambah saat terkena sanksi dari AS pada April lalu. Rusal kemungkinan mengurangi produksi apabila sanksi dari AS tidak jadi dicabut pada Oktober mendatang yang membuat harga menjadi mahal dibandingkan dengan aluminium biasa.