Bisnis.com, JAKARTA — Pelemahan berlanjut yang terjadi pada obligasi negara, terutama seri FR0064, atau seri acuan surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun, membuka peluang bagi investor untuk kembali membeli seri ini yang sudah cukup terdiskon.
Anup Kumar, Analis Senior Fixed Income Bank Maybank Indonesia, mengatakan bahwa lonjakan yield SUN 10 tahun yang kini menembus 7% dan sempat menyentuh 7,20% pekan lalu masih disebabkan semata-mata karena sentimen ekternal.
Sentimen yang dimaksud yani naiknya yield US Treasury 10 tahun ke level 3% dan naiknya harga minyak dunia. Di saat yang sama, rupiah melemah hingga di atas Rp13.900 per dollar AS. Rupiah telah menjadi mata uang terlemah ketiga di Asia karena telah turun 2,63% sejak awal 2018.
Anup mengatakan, kondisi ini telah terprediksi sebelumnya. Namun, Bank Indonesia telah berjanji untuk menjaga mata uang lokal melalui penerapan bauran kebijakan dan mereka memang telah melakukan intervensi sehingga pasar mata uang lokal tetap stabil.
Bank Maybank Indonesia mencatat total return surat utang Indonesia sepanjang tahun ini sudah negatif 0,86%, yang mana merupakan nomor tiga terlemah di antara negara-negara Asia. Return yang negatif ini telah dimulai sejak pertengahan Februari 2018 mengikuti depresiasi rupiah ke level Rp13.651/US$ (per 13 Februari) dari Rp13.386/US$ pada awal Februari.
Total return yang negatif ini boleh jadi menjadi alasan turunnya minat manajer investasi asing untuk menggenggam kepemiikan mereka di SUN. Kemungkinan, telah terjadi efek bola salju yang mana satu per satu manajer investasi saling menyusul melepas kepemilikan mereka. Alhasil, return negatif menjadi semakin melebar.
Baca Juga
Di sisi lain, intervensi dari Bank Indonesia memang cukup terasa pada pasar mata uang, tetapi belum banyak pada pasar obligasi. Hal ini menjadi salah satu faktor berlanjutnya tingkat return negatif di pasar obligasi.
Bank Indonesia mungkin akan menggunakan sejumlah instrumen, seperti lelang reverse repo untuk menarik SUN dari pasar dan membanjiri rupiah ke pasar, mengintervensi pasar SUN atau menyesuaikan suku bunga acuan.
Anup menilai, hal ini membuka peluang penguatan pasar SUN ke depan. Di antara seri-seri SUN yang ada, dirinya menilai SUN 10 tahun cukup prospektif untuk dikoleksi kembali setelah saar ini level yieldnya meningkat sangat tinggi.
Anup menilai, SUN 10 tahun terlihat sangat atraktif pada yield terkininya di 7,2%, mengingat tingginya carry trade, kembali stabilnya rupiah, stabilitas marko yang prudent, posisi moneter yang akomodatif, penganggaran fiskal yang ketat dan masih tingginya likuiditas bank meksipun dalam tren turun. Total likuditas tersedia di sistem perbankan per Minggu (29/4) Rp56,83 triliun.
Selain itu, naiknya peringkat surat utang senior Indonesia oleh Moody’s serta masuknya SUN dalam indeks agregat Bloomberg pada Juni mendatang akan turut menyokong peguatan. Dengan yield 7,0%, imbal hasil riil saat ini sudah di level 360 bps, jauh di atas rata-rata 5 tahun 240 bps.
“Melihat kinerja Indonesia yang tetap positif ini, kami menyarankan investor untuk membeli FR0064 pada kisaran yield antara 7,20% - 7,25% dengan target yield 6,60%, sementara target stop-loss kami di 7,50%,” katanya dalam riset Bank Maybank, dikutip Senin (30/4/2018).
Bank Maybank masih percaya rupiah akan mencapai Rp13.200/US$ pada akhir tahun 2018 atau menguat 5,46% dari posisi Rabu (25/4) lalu Rp13.921/US$. Maybank masih menitikberatkan perhatian pada kelanjutan kenaikan yield US Treasury 10 tahun, kenaikan harga minyak dunia, pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia (CAD) dan defisit anggaran 2018.
Wahyu Trenggono, Direktur Indonesia Bond Pricing Agency, mengatakan bahwa Indonesia relatif beruntung dibandingkan pasar negara lainnya di tengah tekanan yang dialami semua pasar karena faktor Amerika, sebab yield Indonesia masih sangat tinggi.
Walaupun yield yang tinggi bukanlah hal yang bisa dibanggakan untuk jangka panjang, tetapi hal tersebut bisa menahan laju arus keluar dana dari pasar obligasi. Kini, yang perlu diantisipasi adalah apakah gonjang-ganjing yang terjadi saat ini akan berlanjut dalam waktu yang lebih panjang atau tidak.
“Saya melihat ini akan temporer. Kalau melihat pergerakan indeks sebelumnya setelah kenaikan The Fed, sifatnya tidak pernah permanen. Ada gejolak, tetapi selalu sampai ke titik keseimbangan yang tidak jauh-jauh dari titik awalnya,” katanya.
I Made Adi Saputra, Kepala Riset Fixed Income MNC Sekuritas, juga menilai kini saat yang cukup tepat untuk kembali memberi seri FR0064. Namun, dirinya menilai akan lebih baik bagi investor untuk melakukan pembelian secara bertahap.
“Dengan imbal hasil di atas 7% sudah cukup menarik buat investor domestik di tengah kebijakan suku bunga acuan domestik yang masih belum ada perubahan dan sektor perbankan yang masih kelebihan likuiditas,” katanya.