Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah kembali melemah pada perdagangan hari kedua berturut-turut, Kamis (19/4/2018).
Rupiah ditutup melemah 9 poin atau 0,07% ke level Rp13.785 per dolar AS, setelah dibuka dengan apresiasi tipis 1 poin atau 0,01% di posisi Rp13.775 per dolar AS.
Pada perdagangan Rabu (18/4), rupiah berakhir melemah 10 poin atau 0,07% di posisi Rp13.776. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak di kisaran Rp13.774 – Rp13.795 per dolar AS.
Rupiah kembali melemah di saat mata uang lainnya di Asia bergerak cenderung bervariasi sore ini, dengan rupee India yang terdepresiasi 0,23% memimpin pelemahan mata uang Asia, disusul yen Jepang yang melemah 0,14%.
Di sisi lain, won Korea Selatan memimpin mata uang yang menguat di Asia dengan apresiasi 0,67%, disusul peso Filipina yang naik 0,04%.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau menguat hanya 0,07% atau 0,060 poin ke level 89,683 pada pukul 16.47 WIB.
Sebelumnya, indeks dolar dibuka turun hanya 0,002 poin di posisi 89,621 setelah pada perdagangan Rabu (18/4) ditutup menguat 0,12% atau 0,107 poin di posisi 89,623.
Dilansir Reuters, pergerakan indeks dolar terbatas mengingat jangkauan kenaikan oleh yield Treasury bertenor 10 tahun, yang naik lebih dari 5 basis poin semalam, lonjakan harian terbesar sejak 2 Maret. Di sisi lain, tetap terdapat kekhawatiran seputar tensi perdagangan antara Amerika Serikat dan China.
“Dolar, terutama terhadap yen, telah mulai membangun kembali korelasi dengan perbedaan yield yang melebar bulan ini," kata Junichi Ishikawa, senior FX strategist di IG Securities di Tokyo.
“Sementara selisih antara yield AS dengan yield di Jepang dan zona Eropa terus melebar, dolar tidak dapat mengambil keuntungan penuh akibat 'risiko Trump' yang berkepanjangan,” lanjut Ishikawa, dikutip Reuters.
Ia merujuk pada ketidakpastian dari kebijakan perdagangan dan ekonomi Presiden AS Donald Trump, serta kondisi geopolitik di Timur Tengah dan di wilayah lain. Kebuntuan tarif perdagangan AS-China telah meningkatkan volatilitas di pasar keuangan selama sebulan terakhir.