Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menilai holding BUMN migas antara PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) bertentangan dengan Undang-undamg no 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Menurutnya, penyertaan modal negara ke dalam Pertamina sebagai perusahaan yang akan menjadi induk holding BUMN Migas harus dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berarti harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Hilangnya kontrol Pemerintah dan DPR secara langsung pada BUMN yang jadi anak perusahaan akibat adanya kebijakan holdingisasi sangat berbahaya mengingat akan terjadi tranformasi kekayaan negara menjadi bukan kekayaan negara lagi," ujar Redi, Kamis (8/3/2018).
Dia menjelaska, penggabungan PGN sebagai anak usaha Pertamina akan berakibat pada hilangnya pengawasan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas anak usaha holding tersebut.
"Aksi korporasi holdingisasi secara nyata merugikan kepentingan nasional karena perubahan bentuk dari perusahaan negara menjadi perusahaan swasta akan menghapus kontrol Pemerintah dan DPR," tegasnya.
Selain merugikan negara, Redi mengingatkan kalau holdingisasi BUMN juga akan merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari perusahaan pelat merah yang hidup dari pajak yang mereka bayarkan.
Dengan menjadi anak perusahaan suatu holding, maka PGN yang tadinya berbentuk BUMN akan kehilangan kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO)-nya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Selain itu, dalam UU Keuangan Negara disebutkan PSO dalam rangka penyertaan modal negara kepada swasta hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu yang berakibat pada perekonomian nasional setelah mendapat persetujuan DPR," kata Redi.
Wacana pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang sudah memasuki babak final karena tinggal menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo. Namun, sejumlah pihak tidak menginginkan penggabungan perusahaan energi tersebut.