Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menargetkan laba bersih pada tahun ini dapat mencapai US$8,7 juta, setelah membukukan rugi bersih di luar extraordinary items senilai US$67,6 juta pada kinerja tahun 2017.
Sepanjang tahun lalu, laporan keuangan kuartalan maskapai pelat merah tersebut memang terus menunjukkan kerugian. Pada semester I/2017 misalnya, rugi Garuda Indonesia mencapai US$99,1 juta, dan membengkak menjadi US$184,7 juta.
Dengan mengeluarkan item keikutsertaan Garuda Indonesia pada tax amnesty dan denda perseroan yang harus dibayaran pada gugatan bisnis kargo oleh Australia, kerugian perseroan pada kuartal II/2018 sebenarnya tinggal US$38,9 juta. Kendati demikian, emiten dengan kode saham GIAA tersebut tetap harus menanggung biaya tax amnesty dan membayar denda pengadilan.
Direktur Utama Garuda Indonesia (Persero) Pahala N. Mansury mengungkapkan ada beberapa upaya yang ditempuh perseroan dalam satu tahun terakhir, dan akan terus dilakukan sepanjang tahun ini.
Pertama, emiten dengan kode saham GIAA tersebut akan mengoptimalkan efisiensi biaya untuk penerbangan, yang kontribusinya mencapai 30% dari total pengeluaran rutin perseroan.
Kedua, perusahaan melakukan renegosiasi kontrak.
Baca Juga
“Misalnya dari langkah negosiasi kami lakukan negosiasi kontrak pesawat dan negosiasi lain, sehingga kami bisa total saving sebesar US$100 juta,” ungkap Pahala dan konferensi pers di Jakarta, Senin (26/2).
Ketiga, garuda Indonesia ingin memperbaiki utilisasi aircraft yang pada 2017 rata-rata 9 jam 36 menit atau naik 48 menit dari tahun sebelumnya.
Keempat, perseroan meningkatkan service level seperti penggunaan garbarata.
Kelima, perseroan berupaya menjaga stabilitas tarif.
Pahala menyampaikan nilai efisiensi yang didapat dari stategi-strategi tersebut cukup menggembirakan, sehingga berkontribusi signifikan pada pendapatan perusahaan.
Pahala mengatakan meski mengandalkan pemasukan dari jumlah penumpang, perseroan terus menyasar pertumbuhan pendapatan nonpenumpang yang kinerjanya dalam satu tahun terakhir cukup baik. Dia mencontohkan pendapatan dari bisnis lainnya (ancillary revenue) yang tumbuh 20,9% menjadi US$473,8 juta pada 2017.
Selain itu, bisnis kargo Garuda Indonesia pun tumbuh cukup baik, mencapai 446.000 ton sepanjang tahun lalu atau naik 7,6% dibandingkan tahun sebelumnya.
Direktur Keuangan dan Operasional Garuda Indonesia Helmi Imam Satriyono mengungkapkan pasar maskapai penerbangan dari penumpang domestik sangat potensial, sehingga Garuda Indonesia akan memperkuat rute-rute penerbangan domestik.
“Selain itu, kami ingin meningkatkan kontribusi pendapatan dari subsidiaries yang pada 2017 menyumbang 22,8% dari total pendapatan perusahaan,” ungkap Helmi. Adapun, tahun ini perseroan menargetkan kontribusi anak usaha dapat mencapai 26,9%.
Adapun, berdasarkan laporan keuangan konsolidasi perusahaan, anak usaha penyumbang revenue tertinggi untuk GIAA adalah Citilink yaitu 14,4%, disusul GMF Aero Asia 3,9%, dan Aerowisata yang sebear 3,3%.
Kendati demikian, pada 2017, beberapa anak usaha tersebut juga membukukan penurunan net income seperti Citilink yang tercatat rugi sebesar US$53,27 juta atau turun 446,6% (yoy), GMF Aero Asia membukukan laba sebesar US$50,94 juta atau turun 11,8%, Aerowisata pun membukukan laba US$4,96 juta atau turun 33,3%.
Anak usaha lainnya yaitu Sabre membukukan net income sebesar US$0,72 juta atau turun 23,5%, sedangan Asyst membukukan rugi US$3,84 juta atau jeblok 2.271% dibandingkan tahun lalu.