Bisnis.com, JAKARTA - Emiten farmasi PT Indofarma (Persero) Tbk. melakukan pembenahan bisnis seiring hadirnya 'dokter' baru di perusahaan ini.
Rusdi Rosman yang baru ditunjuk menjadi direktur utama perusahaan farmasi plat merah ternyata telah meneken nota kesepakatan dari empat negera. Harapannya, keempat negera maju tersebut bisa mengerek kinerja Indofarma.
Rusdi mengungkapkan saat ini, emiten bersandi saham INAF mencatatkan pendapatan sebanyak 95% dari obat generik. Menurutnya, raihan margin dari obat generik sangat tipis yakni 5%, padahal biaya produksi sudah mencapai 18%, sehingga perusahaan pun mencatatkan kerugian.
"Saat ini, 95% pendapatan dari obat generik. Tranformasi yang dilakukan, produksi obat generik hanya 50% dan 50% non-generik," ungkapnya pada Bisnis.
Alumnus Kimia Farma ini membeberkan, negera-negara yang diajak untuk melakukan joint venture (JV) dan joint operation (JO). Kontrak pertama adalah antara Indofarma dan Jepang untuk memproduksi high functional cosmetic, penghilang kerutan wajah dan menumbuhkan sel-sel baru.
Kedua, kerja sama dengan Rusia untuk membangun pabrik insulin. Dia mengungkapkan, bila pabrik insulin ini terealisasi maka akan menjadi pabrik pertama insulin di Indonesia. Untuk merealisasikan kontrak kerja sama ini, katanya, Presiden Rusia Vladimir Putin akan menghampiri Indonesia pada Desember 2017.
Ketiga, kerja sama INAF dengan Korea dalam membuat obat-obatan herbal. Perseroan mengundang Korea, untuk memanfaatka bahan-bahan alami di Indonesia, kemudian produknya akan lebih banyak di ekspor.
Keempat, Indofarma menggandeng Italia untuk menggunakan pabrik baru Indofarma. Dia belum memerinci jenis produk yang akan diproduksi untuk pabrik yang akan digunakan oleh Italia, akan tetapi produk yang dihasilkan akan lebih banyak dijual ke luar negeri.
"Kalau dengan Korea dan Italia akan JO, kerja sama dengan Rusia dan Jepang akan JV," katanya.
Kedatangan Rusdi sejak April 2017, diharapkan bisa memperbaiki kinerja keuangan INAF. Namun, bagi Rusdi, perusahaan yang telah merugi tidak bisa langsung diperbaiki secara cepat dan butuh waktu dua tahun untuk kembali mencetak laba.
Menurutnya, 'pengobatan' yang harus dilakukan untuk INAF adalah pembenahan dari sisi transformasi bisnis, pondasi dan produk-produk.
Dalam laporan keuangan Juni 2017, pendapatan INAF mencapai Rp481,22 miliar, tumbuh 2,1% dari posisi Rp471,31 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, peningkatan beban pokok penjualan INAF hingga Juni 2017 lebih tinggi dari pertumbuhan penjualan.
Hingga Juni 2017, beban pokok penjualan INAF mencapai Rp368,86 miliar, naik 11% dari posisi Rp332,18 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Naiknya beban pokok penjualan pun menekan laba bruto perseroan.
Laba bruto yang dicetak oleh INAF hingga Juni 2017 mencapai Rp112,35 miliar, terkontraksi 19,24% dari posisi Rp139,13 miliar pada Juni 2016. Namun, bila dihitung dengan beban penjualan, umum dan administrasi maka muncullah kerugian.
Rugi yang dicetak hingga Juni 2017 mencapai Rp53,54 miliar. Pada paruh pertama tahun ini, rugi yang dicetak naik hampir dua kali lipat atau naik 92,17% dari rugi Rp27,86 miliar pada periode Juni 2016.
Dari sisi liabilitas, pinjaman jangka pendek yang dimiliki INAF per Juni 2017 mencapai Rp433,74 miliar. Sementara itu, posisi kas dan setara kas yang dimiliki mencapai Rp29,65 miliar.
Pertumbuhan pendapatan yang cukup, kata Rusdi, karena dari 4 pabrik yang dimiliki Indofarma hanya satu yang beroperasi. Target dalam setahun 'menghuni' Indofarma adalah mengoperasikan tiga pabrik yang obat tersebut.
"Kami akan perbaiki portofolio bisnis melalui aliansi strategis, dari luar negeri, karena tidak punya uang."
INVESTASI
Meskipun kas yang dimiliki cukup terbatas. Perseroan telah berbincang dengan pihak Kementerian BUMN untuk menerbitkan medium term notes. Rudi mengungkapkan, nilai investasi INAF pada tahun depan akan mencapai Rp180 miliar.
"Tahun depan, dananya akan dari bank, karena bunga bank sudah murah. Kalau menerbitkan obligasi, rating bisa jelek karena perusahaan masih rugi," ungkap Rusdi.
Stanley Liong dan Putri Kinanty Siregar menuliskan dalam riset Sucorinvest Indonesia Outlook 2017 menuliskan, bahwa kinerja saham INAF pada 2016 adalah yang terbaik dan dipenuhi aksi spekulasi. Pada 2016, saham INAF sudah naik 27 kali dari posisi Rp168 per saham menjadi Rp4.680 per saham pada penutupan tahun lalu.
Namun, pada perdagangan harian Jumat (24/11/2017) saham INAF sudah bertengger dilevel Rp2.480 per saham. Pada tahun ini, saham INAF sempat menyentuh level Rp5.200 per saham saham.
Penempatan Rusdi Rosman di Indofarma di perusahaan diharapkan bisa mengobati kesehatan neraca laba rugi pada beberapa tahun mendatang melalui transformasi bisnis ditambah racikan-racikan 'obat' dari tangannya.