Bisnis.com, jAKARTA- Bursa Eropa tetap melanjutkan penguatannya di saat kondisi geopolitik memanas.
Indeks Stoxx Europe 600 naik 0,1% pada penutupan perdagangan Jumat, setelah sempat melemah 0,5%.
Bursa Eropa bergeser dari zona merah ke zona hijau, setelah investor mempertimbangkan data campuran antara pasar tenaga kerja dan serangan militer AS terhadap Suriah.
Saham tambang dan telekomunikasi menekan indeks, dan saham konsumer mendorong bursa.
Data Departemen Tenaga Kerja menunjukkan tingkat pengangguran AS pada Maret 2017, secara tak terduga turun ke level terendah dalam hampir satu dekade.
Angka menunjukkan sebesar 98.000, sementara perkiraan median bertengger di 180.000 dari survei Bloomberg terhadap para ekonom.
Sementara itu pasar memperkirakan serangan rudal AS memberikan damak “terbatas,” dan “tidak menciptakan ketidakpastian baru” dalam jangka pendek, seperti diungkapkan Paul Christopher, Strategi Pasar Global Wells Fargo Investment Institute seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (8/4/2017).
“Investor perhatikan faktor Suriah, tapi fokus utama bergeser ke data ekonomi AS,” kata Christopher.
AS telah melancarkan serangan militer pertama di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, setelah menuduh Presiden Suriah Bashar al rezim -Assad menggunakan gas racun untuk membunuh sejumlah warga sipil.
“Saham global hanya punya kuartal terbaik dalam hampir empat tahun,” papar Ahli Strategi di HSBC dalam sebuah catatan. “Valuasi penuh. Pasar membutuhkan jeda untuk napas dan beberapa pendapatan jangka dekat validasi.”
RUDAL AS
Seperti diketahui rudal andalan Amerika Serikat selama 20 tahun terakhir, Tomahawk atau kapak Indian, tiba-tiba menjadi perhatian dunia militer.
Rudal menjadi perhatian setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan militer negaranya untuk menyerang pangkalan udara Suriah yang dianggap negara itu sebagai asal senjata kimia mematikan diluncurkan Selasa (4/4/2017) ke Idlib yang dikuasai pemberontak Suriah.
Serangan mengejutkan AS ke sebuah pangkalan udara Suriah dekat Homs itu dilancarkan Kamis (6/4/2017) pagi waktu setempat. Sebanyak 59 rudal Tomahawk menghujani pangkalan itu setelah dilepaskan dari dua kapal perang destroyer angkatan laut AS di Laut Tengah, yakni USS Ross dan USS Porter.
Rudal berpanjang 6,25 meter dan berbobot 1.590 kg itu diklaim oleh angkatan laut AS sebagai peluru kendali subsonik jarak jauh yang cocok untuk segala cuaca dan bisa diluncurkan baik dari kapal perang maupun kapal selam.
Rudal ini biasanya membawa hulu ledak sampai 454 kg dan dirancang meluncur pada ketinggian rendah yang bisa menembus sasaran di darat dengan pertahanan tangguh sekalipun, dan tingkat akurasi sangat tinggi.
Keunggulan utama senjata ini adalah rudal ini dikendalikan GPS dalam menyasar target sampai sejauh 1.600 km dengan kecepatan subsonik 885 km per jam.
Yang menjadi sasaran rudal ini di Suriah pagi tadi adalah hanggar pesawat tempur, bunker amunisi dan instalasi radar.
Pembuatnya, Raytheon, menyebut Tomahawk senjata "modern, matang, dan ampuh" yang mampu menghajar sasaran dalam tingkat ketepatan sangat tinggi dengan dampak kolateral yang minimal.
Satu unit rudal ini dihargai sekitar 1,5 juta dolar AS.
Peluru kendali canggih ini menjadi bagian sangat penting militer AS dalam Perang Teluk 1991 yang digadang-gadangkan angkatan laut luar biasa sukses.
Tomahawk menjadi bagian instrumental dalam invasi Nato menumbangkan Muammar Gaddafi di Libya pada 2011, selain berjasa besar untuk AS dalam memerangi ISIS di Timur Tengah.
Pada September 2014, Pentagon meluncurkan 47 peluru kendali dari dua kapal perang --satu di Teluk Persia dan satu di Laut Merah-- ketika perang melawan ISIS meluas ke Suriah.
Menurut Washington Post rudal ini terakhir digelarkan Pentagon Oktober tahun silam dari destroyer-destroyer di Laut Merah dengan membidik tiga sasaran radar di Yaman.
Desember tahun lalu Raytheon mendapatkan kontrak senilai 303,7 juta dolar AS untuk memproduksi 214 Tomahawk Block IV yang digunakan untuk angkatan laut AS, demikian laman The Guardian.