Kisah PT Inovisi Infracom Tbk. yang diselimuti berbagai persoalan dalam beberapa tahun terakhir mulai memasuki babak lanjutan setelah manajemen baru terpilih dan menargetkan akan segera menyelesaikan segala permasalahan.
Cerita emiten berkode saham INVS ini sempat mencapai klimaks pada awal Februari 2015, setelah perdagangan saham perseroan dibekukan oleh Bursa Efek Indonesia, tepatnya pada Kamis, 12 Februari 2015 di level Rp117 per saham.
Penyebab pembekuan perdagangan saham ini adalah kesalahan dalam pelaporan keuangan periode 2014. Namun, masalah tersebut tidak kunjung rampung dalam 2 tahun terakhir, sehingga investasi para pemegang saham terkatung-katung.
Berdasarkan keterbukaan informasi kepada otoritas bursa, cerita sendu perjalanan Inovisi sebetulnya sudah dimulai pada 2011 akibat masalah pajak.
Pada 8 Juli 2011, PT Green Pine yang memegang 60,25% saham INVS menerima dividen sebesar Rp32,13 miliar. Atas pemasukan itu, Green Pine dikenakan pajak penghasilan (PPh) 25% senilai Rp8,03 miliar.
Selanjutnya pada 4 Juni 2013, Green Pine menerima saham bonus dari INVS sebesar Rp447,11 miliar, yang seharusnya diperhitungkan dalam surat pemberitahuan (SPT) wajib pajak tahunan. Tarif PPh yang harus dibayar senilai Rp111,77 miliar.
Namun, sampai dengan pelaporan SPT tahun 2014, perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan piranti lunak ini melaporkan belum pernah menerima dividen dari Inovisi Infracom.
Oleh karena itu, Kantor Pelayanan DJP Jakarta Selatan I memberikan surat permintaan penjelasan atas data dan pembetulan pelaporan SPT tahun 2013.
Dalam surat tanggal 25 April 2016, Kantor Pelayanan DJP Jakarta Selatan I menyampaikan penjelasan keterangan dari wajib pajak, yakni Direktur Green Pine Jeffrey Nico Budiman.
Hasil klarifikasi menyatakan transaksi saham bonus pada 2011 dan 2013 dari Inovisi Infracom memang terjadi dan penghasilan tersebut belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.
Rencananya, pada akhir Mei 2016 kepemilikan saham Green Pine di INVS akan dialihkan, sehingga transaksi itu mendapatkan penghasilan yang digunakan untuk membayar utang pajak. Perseroan juga akan membetulkan laporan SPT Tahunan.
Selain dari induk, menurut catatan Kantor Pelayanan DJP Jakarta Selatan I pada Mei 2016, INVS juga memiliki jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp162,06 miliar untuk SPT Tahunan 2013.
Kian berlarutnya masalah membuat Green Pine Group menyampaikan surat kepada Direktur Inovisi Jeffrey Nico Budiman pada 7 September 2016.
Dalam surat yang menggunakan bahasa Inggris itu, Direktur Green Pine Rashyad Chasan mengusulkan adanya rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).
Usulan Rashyad soal RUPSLB mencakup empat agenda, yakni pergantian Dewan Direksi dan Komisaris beserta pemilihan anggota baru; penunjukan akuntan publik untuk finalisasi laporan keuangan 2014, 2015, dan kuartal I/2016; relokasi ke kantor baru; serta perubahan anggaran dasar.
Namun, usulan ini ditolak oleh direksi dan komisaris kala itu. Direktur Utama Inovisi Jan Tangkilan dan Direktur Jeffrey Nico Boediman dalam keterbukaan informasi tanggal 14 September 2016 menyatakan sejumlah alasan penolakan.
Beberapa alasan itu a.l. sumber pengirim surat tidak jelas, surat tidak wajar karena berbahasa Inggris, dan Direktur tunggal PT Green Pine yang resmi adalah Jeffrey Nico Boediman yang juga menjabat sebagai Direktur Inovisi.
Selanjutnya ada informasi bahwa Green Pine Holding telah ditawarkan ke pihak ketiga, sedangkan pihak ketiga itu membantah menulis surat tersebut.
Jan dan Jeffrey juga menyampaikan bahwa dewan komisaris dan direksi Inovisi sudah menghubungi Green Pine Group, tetapi tidak berhasil.
Permasalahan di tubuh Inovisi kian kompleks. Pada 28 September 2016, direksi Inovisi berkonsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dan BEI perihal adanya surat yang dinilai aneh.
Mereka juga curhat kepada otoritas mengenai terjadinya beberapa kali panggilan RUPS melalui media massa yang dianggap tidak sesuai prosedur.
“Dengan ini, kami memperjelas bahwa kami tidak yakin atas kedudukan pengirim surat Green Pine Grup yang bukan pemegang saham dari PT Inovisi Infracom Tbk.," tulis menajemen Inovisi dalam surat tertanggal 29 September 2016.
Kemudian dalam suratnya kepada BEI tanggal 3 Oktober 2016, Jan menjelaskan bahwa perseroan sedang menjalani pemeriksaan dari OJK dan Kantor Pajak, sehingga direksi tidak mungkin melakukan RUPSLB karena kesibukan tersebut.
Selain itu, komisaris perusahaan terbuka tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, kecuali kolektif sebagai Dewan Komisaris. Pernyataan ini merujuk kepada sikap direksi dan juga Komisaris Independen Inovisi Lessy U.W. Latumahina yang menolak panggilan RUPS dari Komisaris Boyke G.P. Siahaan.
MANAJEMEN BARU
Menurut Direktur Independen Inovisi Pantur Silaban, permasalahan dalam laporan keuangan disebabkan lambatnya penyelesaian masalah oleh pengurus lama. Jajaran direksi dan komisaris saat itu juga terpecah sehingga tidak kunjung bisa melaksanakan RUPSLB.
Oleh karena itu, RUPSLB teranyar pada Selasa (7/3) menjadi babak baru bagi perjalanan perseroan setelah pemegang saham sepakat mengganti jajaran direksi dan komisaris yang baru. Tim baru ini terdiri dari Presiden Direktur Effendy Situmorang, Direktur Independen Pantur Silaban, dan Direktur Dimass Anugrah Argo Atmaja.
Sementara itu, dewan komisaris yang baru terdiri dari Presiden Komisaris Boyke G.P. Siahaan, Komisaris Independen Beresman Siburian, dan Komisaris Rashyad Chasan.
Uniknya, hasil RUPSLB terkini menyetujui empat agenda yang diusulkan dahulu oleh Rashyad Chasan yang pernah mengaku menjabat Direktur Green Pine dan mengirim surat permohonan penyelenggaran RUPSLB pada 7 September 2016.
Pantur berharap manajemen yang baru dapat segera menyelesaikan masalah perseroan yang sudah berlarut-larut. “Target kami laporan keuangan yang diaudit rampung maksimal September 2017 atau 6 bulan ke depan. Setelah itu mulai jalan lagi usaha,” ujarnya Selasa (7/3).
Setelah saham INVS dibekukan, operasional perseroan memang berhenti dan pemasukan hanya berasal dari anak usaha. Bahkan pada tahun lalu, karyawan INVS hanya sekadar ke kantor tetapi sama sekali tidak beroperasi.
Direktur Inovisi Dimas Anugrah Argo Atmaja menyampaikan, sebetulnya pembenahan laporan keuangan sudah dilakukan sejak lama, tetapi tidak kunjung selesai.
Oleh karena itu, target utama dan paling realistis dari manajemen baru ialah menyelesaikan laporan dalam periode 3 bulan hingga 6 bulan ke depan untuk membuka suspensi saham.
Setelah suspensi saham dibuka, manajemen akan melakukan rapat terkait operasi kerja dan kebutuhan dana. Perusahaan juga bisa mendapatkan dana dari treasury stock ataupun aksi korporasi seperti rights issue.
Pembukaan suspensi saham INVS, lanjut Dimas, menjadi titik balik perseroan untuk kembali berekspansi. Adanya kegiatan operasional akan kembali menarik minat dari investor dan menambah kas perusahaan.
Selain membayar denda dan menyelesaikan laporan keuangan untuk membuka suspensi, perseroan juga akan membahas masalah pembayaran utang.
PT Bank CIMB Niaga Tbk. telah melayangkan somasi atau teguran hingga tiga kali kepada INVS. Dalam surat tanggal 11 Oktober 2016, Inovisi memiliki kewajiban pembayaran pinjaman transaksi khusus (PTK) senilai Rp92,88 miliar dengan rincian pokok senilai Rp70,76 miliar, bunga Rp10,68 miliar, dan denda 13,4 miliar.
Presiden Direktur Inovisi Effendy Situmorang menegaskan, ke depan perseroan akan berfokus pada industri minyak dan gas (migas). Inovisi Infracom memang memiliki sejumlah lini usaha, mulai dari jasa infrastruktur telekomunikasi, pertambangan, hingga pembangkit listrik.
“[Usaha inti INVS] oil and gas, semua yang berkaitan dengan energi. Dalam size yang kecil misalnya, power plant. Hulunya yang kita sorot makanya oil and gas. Kita identifikasi usaha dan aset yang potensial,” ujar Effendy yang juga menjabat sebagai Komisaris PT Pertamina Eskplorasi dan Produksi.
Setidaknya, dengan keberadaan manajemen baru, para pemegang saham INVS memiliki secercah harapan baru perusahaan ini dapat kembali menunjukkan kinerja positif di masa lalu. (Lihat grafis)
Harga saham INVS sempat menyentuh level tertinggi Rp2.375 pada pertengahan 2013 hingga akhirnya dibekukan dan anjlok ke level Rp117 per saham.