Bisnis.com, JAKARTA--Harga tembaga dan alumunium diperkirakan rentan terkoreksi pada tahun ini seiring dengan kondisi surplus pasokan keduanya di pasar global sampai 2018.
Pada penutupan perdagangan Jumat (27/1) di bursa London Metal Exchange (LME), harga tembaga naik 0,72% atau 42 poin menjadi US$5.899 per ton. Sementara harga alumunium turun 0,22% atau 4 poin menuju US$1.816 per ton.
Survei Reuters menyebutkan tembaga dan aluminium selama ini lebih dipicu aksi spekulan alih-alih fundamental keduanya menguat. Adapun seng dan nikel masih berpeluang membukukan pertumbuhan harga pada 2017.
Tembaga telah memimpin kenaikan harga logam industri di LME selama beberapa bulan terakhir. Aksi spekulasi marak dalam pasar komoditas tersebut karena investor bullish optimis akan tingginya konsumsi China dan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.
Median dari 31 analis memperkirakan rerata harga tembaga 2017 senilai US$5.350 per ton. Pasalnya, surplus global mencapai 80.000 tahun di tahun ini dan 80.500 ton pada 2018.
Carsten Menke, research analyst Julius Baer, mengatakan proyeksi terhadap tembaga adalah bearish karena ekspektasi pertumbuhan permintaan yang tidak mungkin terpenuhi.
"Kami percaya program infrastruktur AS hanya memiliki dampak terbatas terhadap permintaan, sedangkan China masih dalam masa transisi mengubah lokomotif ekonomi dari sisi investasi menjadi konsumsi," paparnya seperti dikutip Bisnis.com, Minggu (29/1/2017).
Tidak hanya di pasar tembaga, kondisi suprlus juga terjadi dalam pasar aluminium. Menurut survei, suprlus pada 2017 sebesar 317.000 ton akan berkurang menjadi 292.500 ton pada 2018. Oleh karena itu, rerata harga diprediksi senilai US$1.685 per ton.
Adapun seng, sebagai logam terbaik dengan lonjakan lebih dari 60% pada 2016 diprediksi masih melanjutkan tren positif. Para analis memperkirakan penutupan tambang membuat fundamental seng tetap kuat karena defisit pasar global mencapai 392.000 ton pada tahun ini.
Rerata harga seng diperkirakan mencapai US$2.622 per ton pada 2017. Daniela Corsini, commodities economist Intesa SanPaolo di Milan, menuturkan seng dapat kembali mengungguli komoditas logam industri lainnya tahun ini.
"Memang tahun lalu episode reli seng dimulai dengan aksi spekulasi terhadap aset berisiko, tetapi pemerosotan pasokan kemudian menopang harga," ujarnya.
Pada perdagangan akhir pekan kemarin, harga seng terkoreksi 14,5 poin atau 0,52% menjadi US$2.748 per ton.
Sementara itu, harga nikel tengah mendapat sorotan karena adanya potensi tambahan pasokan baru dari Indonesia. Pada awal bulan ini, pengiriman bijih nikel ke luar negeri berpotensi mencapai 5,2 juta ton, setelah larangan ekspor dalam tiga tahun sebelumnya dicabut.
Namun demikian, para analis sepakat kebijakan dari Indonesia tidak akan membanjiri pasar. Oleh karena itu, harga nikel berpotensi menguat dengan rerata US$10.800 per ton pada 2017.
John Meyer, analyst at SP Angel di London, mengungkapkan permintaan nikel akan meningkat terutama dari China untuk meningkatkan kualitas baja. "Nikel terutama digunakan sebagai paduan dalam bahan stainless steel karena sifatnya yang anti korosi," ujarnya.
Pada perdagangan akhir pekan kemarin, harga seng terkoreksi 200 poin atau 2,07% menjadi US$9.430 per ton.